Oleh : Valensius Onggot
Sebagaimana
malam-malam sebelumnya. Doa rosario yang rutin bergilir yang dilakukan setiap
tahun itu hanya terdiri dari anak-anak dan remaja. Kebanyakan perempuan pula.
Orang dewasa pun, hadir seadanya. Sampai-sampai ketua KBG atau
Kelompok Basis Gerejani Santa Marta berkomentar,
"kalau anak-anak ini semua nanti dilamar orang, maka kelompok kita ini tak
jadi doa lagi. Bubar."
Memang
begitulah adanya di kelompok kecil kami, KBG Santa Marta,
Konggang-Waso-Ruteng. Kondisi ini
bisa saja terjadi pada kelompok lainnya.
Namun
di tengah kesibukan, saya tetap berusaha untuk
hadir. Meski tidak semua malam. Tergantung piket di kantor. Dengan doa bergilir ini kami berusaha
menerobos pekatnya malam.
Kami menyusup di antara pohon-pohon rindang serta ujung pohon bambu yang berjuntai menjulur ke jalan. Tak ada lampu
jalan sebagaimana di kota yang sesungguhnya. Ditambah lagi irama langkah di atas jalan berbatuan tidak seimbang. Bergantian antara langkah biasa dan
melompat. Tepat di Gang
Adiaksa.
Ini
malam yang ke dua puluh lima. Itu artinya ada 25
rumah yang sudah terlewati. Saatnya berkusuk mengimani Kristus dan mensyukuri kasih Allah yang tak
terbatas. Saatnya menjalin kedekatan dengan Bunda Maria, Bunda Yesus. Bulan memohon
kerahiman akan keberkahan sebagai jalan kedekatan dengan Kristus. Dan
ini dilakukan pada bulan Mei dan Oktober nanti.
Namun lagi-lagi bulan ini tetap menjadi bulan penuh
berkah khususnya untuk anak-anak. Lalu kemana orang dewasa
lainnya. Bisa jadi memang sibuk. Namun kalau di tempat kami, bisa jadi karena hawa dingin menyengat. Maklum berada di bawah kaki bukit Golo Lusang, yang
katanya di puncak bukitnya ada sebuah Danau yang menjadi sumber air bagi kota
Ruteng. “Danau Pajung”.
Maka yang pasti, itu bukan alasan untuk tidak bisa hadir.
Begitu juga anak-anak. Sampai-sampai Si Sulung kalau menjelang
pukul 06.00 sore,
selalu bertanya, "Pak, ntar malam doa dimana?"
Saya hanya bisa tersenyum, pasti yang dikejar ini sajian makanan ringan pada saat selesai doa.
Ini
memang telah menjadi kebiasaan. Usai doa, biasanya tuan rumah
menyuguhkan beberapa sajian untuk dinikmati. Hitung-hitung hadiah karena sudah datang berkunjung. Ada
donat, kue atau makanan lokal seperti
pisang, atau ubi. Sajian tambah menarik kalau ada lombok goreng.
Saat semuanya disuguhkan, ini moment terbaik anak-anak. Maka
jurus kecepatan tangan pun dibuka. Puluhan tangan menyerang piring yang berada
di tengah-tengah. Secepat itu pula, setumpuk sajian lenyap. Plak. Semenit habis. Selanjutnya kita hanya bisa menyaksikan keringat bercucuran pada jidat
mereka masing-masing dan sedikit lelehan air mata. Setelah dicari tahu,
ternyata lomboknya terlalu pedis, ha ha.....
Kembali lagi, bagi kita tujuannya bukan itu. Tujuan
utama pendarasan doa rosario adalah untuk merenungkan misteri kehidupan Kristus. Karena mustahil dilaksanakan kalau tidak saling berkunjung. Sebagaimana
Maria mengunjungi Elisabet saudaranya.
Tradisi yang diperkenalkan oleh Santo
Dominic Buzman
pada abad ke 12 ini, telah menjadi doa keluarga. Tidak hanya dilaksanakan di biara-biara dengan butir-butir rosario untuk
menghitung doa Bapa Kami dan Salam Maria, melainkan menjadi doa sederhana dalam
keluarga Katolik.
Berbanding terbalik pada saat saya masih kecil.
Sekitar tahun 80-an. Saat itu saya sering ditugaskan meniup peluit pada pukul 6.30
sore. Sebagai tanda mengingatkan orang untuk bersiap-siap.
Anak-anak terlihat ramai. Apalagi kalau itu bulan purnama.
Kalau
bulan gelap maka biasanya pakai obor. Dimana sebuah botol dipakai untuk menyalahkan api. Yang ujungnya gunakan tongkol jagung kering atau serabut kelapa yang dilumasi minyak
tanah. Nyalanya cukup untuk menerangi langkah. Namun, orang yang pegang obor harus berhati-hati,
kepalanya mesti mengarah ke bawah jalan. Kalau tidak, sampai di rumah yang dituju, muka dan lubang hidungnya dipenuhi asap. Apes.
Namun
sekarang beda. Sepi. Bahkan doa hanya dihadiri oleh anak-anak saja. Tuhan hadir hanya
untuk anak-anak. Tugas orang dewasa
adalah membela Tuhan dalam berbagai kepentingan. Untuk hal itu, saya tidak bisa menjelaskannya
lebih rinci.
Masa bertambah. Zaman berubah. Orientasi pun berganti.
BalasHapus"Mengunjungi" sebenarnya hal lumrah untuk orang Manggarai. Tetapi itu dulu.
Saat ini Lejong (baca: mengunjungi) menjadi "barang antik". Tinggal Kenangan.
Televisi tampil sebagai pengganti. Sinetronya menarik. Orang tertarik ke dalam
permainan rasa-perasaan. Meskipun itu ilusi. Tetapi orang "suka".
Apalagi ponsel/HP. Daya pikatnya jauh lebih lekat. Orang terperangkap.
Lupa waktu. Lupa keluarga. Tentu saja lupa juga doa rosario.
Sering ia mendatangkan dilema. Memilih lanjutkan game online atau pergi doa rosario? Kebanyakan lanjutkan main game online yang menang. walaupun dalam permainannya kalah. itu bukan yang pertama. Tetapi untuk yang kesekian kali. Untuk sehari. Dan sudah banyak hari yang dilalui.
Seperti itulah ia (game online) bekerja. Orang penasaran. Stress? Bisa Jad! Paket habis. Duit terkuras etc.
Tentu saja masih ada rentetan alasan lain. Itu yang saya lihat lagi viral bagai virus.
@Terima kasih to omvalen.com. Tulisan bersahaja, apa adanya tetapi reflektif.
Representasi sikon kekinian kita. PIMR
http://manggarai-raya.blogspot.com