 |
Berpose di kebun tomat, Dok Pribadi |
Isu tentang
hortikultura kian seksi. Meskipun masih menjadi polemik, di luar sana. Namun bagi pria ini,
hortikultura tetap menjadi perkerjaan yang mengasyikan. Dia tetap berkarya dalam diam, bahkan sunyi, di atas lahan yang ada di belakang rumahnya.
Pemuda dari seputaran kota Ruteng itu, tepatnya di Lalong - Ruteng, Manggarai ini sudah menginjak usia 26 tahun. Setelah beberapa tahun lalu meraih gelar sarjana Ekonomi dari UPN Veteran Yogyakarta.
Tetapi
gelar ini kemudian tidak dipakai. Dia lebih memilih urus kebun. Menjadi petani
hortikultura dengan menanam berbagai jenis sayuran.
Tidak
heran kalau ketika saya menyambangi lahan miliknya, ia masih seperti itu. Tak berubah sama sekali. Hanya senyuman dari bibirnya terus berbagi. Sesekali ikut tertawa di tengah
perbincangan. Benar-benar petani sungguhan dia, kata saya.
Namanya
Erik Jarut. Kalau saya, sering panggil, Mas Erik.
Di
belakang rumahnya, sudah dilakukan proses ekstensifikasi lahan. Semula sawah
sekitar 1,5 Ha, pelan-pelan dia ubahnya sepetak, dua petak yang ditanami berbagai jenis tanaman hortikultura.
Tahun lalu, dia mencoba tanam tomat pada sepetak lahan. Tak terkira, hasil panenannya luar biasa. Bisa dibilang melebihi proyeksi; dia pakai istilah ekonomi.
Maka para pengepul
pun antri di depan rumahnya. Komunikasi dengan mereka semakin hari semakin intens. Bahkan sampai kemarin saat Enam Ratus-an kilogram Tomatnya terjual kepada para pengepul dari Labuan Bajo.
Saat
saya menyambangi kebunnya kemarin, senyuman yang sama masih terpancar. Bahkan
lebih optimis. Sampai dengan pertengahan Juni ini, dia sudah petik untuk ke
tujuh kalinya. “Memuaskan”, katanya. “Namun tinggal dua kali petik, baru kita
tanam lagi,” lanjutnya, sambil berharap agar panenan terakhir ini sama seperti sebelumnya.
Harga
tomat di pasaran fluktuatif. Dia bercerita, waktu panen pertama bulan Maret
lalu, para penadah membeli dengan harga Rp.10.000 per kilogram. Kemudian seiring banyaknya
tomat yang berbuah dari berbagai kelompok tani dari desa-desa, maka harga terus menurun, dan saat ini
jatuh dikisaran harga Rp. 6.000 per kilogram.
“Apakah
terus akan mengerjakan lahan untuk tanam horti?” tanya saya.
Dia tersenyum sejenak. Sepertinya memberi isyarat enggan mau beralih langkah.
“Saya
tetap bertahan. Masa depan saya ada di sini”, ujarnya.
 |
Lokasi tanaman tomat |
Tahun
ini, sepetak lahan sawah padinya telah diubah menjadi hiasan hortikultura. Ada
tomat, Paprika, terong, cabe keriting. Menurutnya, lahan sepetak ini
telah mendapatkan hasil 200% lebih tinggi dari ketika mengolah sawahnya yang seluas, 1,5 Ha.
“Karena
saya panen per tiga bulan. Beda dengan hasil sawah padi yang panennya sekali
enam bulan. Hasilnya Cuma berapa puluh karung. Tekor kita. Apalagi biaya
pengerjaannya tinggi”, katanya lugas.
Dia
pun tak menampik. Ijasah sarjana yang diraihnya tak bisa mendatangkan rupiah.
Tidak bisa menjadikannya sebagai bagian dari deretan orang yang antri menggunakan seragam kantoran. Namun
dia yakin, dia punya pakaian seragamnya sendiri, dengan pundi-pundi rupiah yang tidak bisa dibilang
sedikit.
Sudah
dua tahun belajar hortikultura. Bahkan sejak program prioritas dari Pemkab
Manggarai membumi selama tiga tahun ini. Yang merambah dalam berbagai kelompok Simantri.
Dia
lebih memilih berdikari. Tidak bergantung pada bantuan pemerintah. Sebagaimana pada beberapa kelompok lainnya. “Supaya saya
bisa merasakan, dan intinya tidak tergantung pada pemerintah,” katanya lugas.
Saat
ini dia masih merencanakan untuk mendirikan sebuah bangunan green house mini. Hal ini disebabkan oleh tingginya permintaan
akan sayuran Paprika dari restoran dan hotel berbintang baik dari dalam kota Ruteng maupun dari pasar Labuan Bajo. Panenan kemarin tidak memuaskan.
Hanya beberapa kilo saja, dengan harga Rp.70.000 per kilogram.
“Soal
pembeli tidak usah kuatir. Malah kita kelabakan menanganinya. Baik untuk
kebutuhan dari Labuan Bajo maupun kebutuhan restoran di Kota Ruteng,” katanya.
Dirinya menyakini bahwa perubahan pola pikir petani menjadi sangat penting. Apakah ingin berubah atau tidak. Program pemerintah
ini sudah sangat baik. Apalagi saat ini sangat berkembang, pasarnya pun sangat
terbuka.
Karena
itu, tak ada waktu ia berleha-leha sebagaimana kebanyakan orang muda lainnya. Di deker-deker atau berhura-hura memanfaatkan jerih payah orang tuanya. Dia yakin pekerjaannya bisa menghidupi dirinya sendiri. Kalau menjadikan sekian orang muda lainnya terinspirasi; itu hadiah. Karena menurutnya Sarjana Ekonomi adalah gelar untuk hidup. Sarjana ekonomi, yang mengelola hidup.
Soal polemik keberhasilan program hortikultura ini, bukanlah menjadi ranahnya. Toh, keuntungannya untuk dirinya sendiri, bukan buat orang lain. Apalagi untuk mereka yang terus mengoceh.
Namun, dia masih bekerja dalam diam. Soal pendapatan yang diterima dari hasil penenannya, itu adalah buah dari jerih payahnya. Karena dia percaya, soal rejiki Tuhan sudah atur.
Anda
pasti tahu, saya tidak akan pulang dengan tangan hampa. Mas Erik pun tahu keinginan saya yang tersebunyi itu. Cepat-cepat dia ke kebun,
dan sekantong Paprika menjadi oleh-oleh buat anak dan istri di rumah.
Terus berkarya Mas Erik, terus menjadi inspirasi bagi anak muda lainnya.
Mantap, Om Valen!
BalasHapusMksh bang.. .
BalasHapus