![]() |
Foto di Depan Gereja Katedral Ruteng |
Oleh : Valensius Onggot
Wajahnya sumringah. Ketika begitu banyaknya orang yang datang memberikan ucapan selamat.
“Selamat ya nak!”
Dia pun menerima ucapan selamat itu dengan rasa bangga. Wajahnya tambah ceria. Bak Ratu sehari.
Itulah yang dialami oleh anak saya, Cecilia beberapa minggu yang lalu (5/5/2019). Juga mungkin dialami oleh anak-anak lainnya. Apalagi saat ini lagi musimnya pesta sambut baru. Kemarin ditelpon oleh seorang teman, undang saya karena anaknya sambut baru Minggu esok.
“Makasih undangannya kawan!” kata saya.
Bagi seorang anak yang beriman Katolik, penerimaan komuni pertama adalah sesuatu yang sangat dinantikan. Karena itu begitu banyak persiapan yang mesti dilakukan. Ada persiapan rohani, baik untuk si anak maupun bagi para orang tua. Namun yang merepotkan adalah persiapan jasmaniah. Pesta-pesta.
Ada yang bercerita, kalau sebelumnya si anak turut sama ajakan orang tua. Tak ada pesta-pesta. Yang ada nanti cuma jalan-jalan atau pemberian hadiah sepeda atau uang. Setelah diberikan sejumlah hadiah tersebut, esoknya mau Penerimaan Komuni Pertama, si anak berubah pikiran. Minta dibuatkan pesta atau syukuran dengan musik.
Alamak! Celaka dua belas.
Mana terop sudah tidak tersedia lagi. Belum lagi para tukang masak sudah menuju ke rumah sebelah. Apalagi si anak sudah terima hadiah sepeda dan uang, lalu minta dibuatkan pesta lagi. Ini yang disebut sudah jatuh tertimpa tangga, Rugi dobel-dobel!
Setelah ditelusuri ternyata anaknya diprovokasi oleh temannya, atau enaknya mendengar irama musik dari tetangganya yang juga sesama teman sambut baru.
Namun sesungguhnya anak tidak suka pesta-pesta apalagi dianggap sebagai upaya memperluas semangat hedonisme religius.
Yang menjadi kebanggaannya adalah karena dia mendapatkan ucapan selamat dari undangan yang hadir. Terlepas dari dia kenal oleh para undangan atau tidak. Meski kenyataanya, semua undangan yang memberi selamat adalah sahabat kenalan orang tua.
Lha, timbul pertanyaan, emang ini pestanya orang tua atau untuk anak yang sambut baru? Jawabannya; Dua-duanya bro...
Saya pun menjadi tahu. Pesta ini membuat semua anggota keluarga bahagia. Bisa berkumpul dari mana-mana. Merayakan sukacita atas penerimaan salah satu sakramen yang menjadi bagian dari penghayatan iman Katolik. Yakni sakramen Tubuh dan Darah Kristus.
Seberapa dalam rasa bahagia itu? Tentu dalam sekali. Rasa-rasanya begitu!
Meski untuk melewatinya, ada banyak pengorbanan. Tak sedikit uang dan materi yang dihabiskan. Juga waktu yang terbuang percuma.
Selain untuk kebahagiaan anak, ternyata ada banyak manfaat lain bagi orang tua. Para orang tua bisa dipertemukan kembali dengan para sahabatnya. Tali silaturahim tetap terhubung. Menebar senyuman yang mungkin selama ini lupa karena kesibukan dan rutinitas. Boleh jadi menjadi ajang ekspresi canda dan tawa lepas yang telah lama sirna direnggut oleh ragam keinginan duniawi.
Karena kata orang, tak ada kebahagiaan yang melebihi sebuah senyuman, imus, smiling. Di dalamnya ada hati yang tenang, ada kegembiraan yang terpancar. Mungkin dengan inilah yang membuat raut wajah tampak lebih mudah dari biasanya, tentu selain efek masker wajah atau pemutih tentunya.
Karena sejatinya, kebahagiaan itu ada di hati. Ada dalam jiwa yang tenang, tidak terjebak dalam lumpur keinginan jasmaniah. Ketika disirami dan disebarkan, maka kebahagiaan itu terus bertambah dan semakin bertumbuh.
Mari berpesta!
Namun ingat! Jangan sampai tujuh hari tujuh malam bergadang. Atau semalam suntuk untuk mendengarkan musik DiJe. Nanti ditegur bang Rhoma, jangan terlalu banyak bergadang nanti muka pucat karena darah berkurang.
Karena kalau demikian, anda tidak akan bahagia. Beberapa penyakit akibat kelelahan akan menanti.
Bukannya cari bahagia, tapi cari masalah.
Profisiat bagi anak sambut baru dan bahagia bagi para orang tua, karena yang pasti anda akan terus bertambah tua. Tidak muda lagi.
Foto saat merayakan kebahagiaan sambut baru |
Komentar
Posting Komentar