Foto : di depan Ruang Guru |
Oleh : Valensius Onggot
Berdiskusi itu perlu; untuk menjaga peradaban.
Pendidikan itu menyejarah. Tidak bisa dilepaspisahkan dari tiga dimensi waktu. Yakni masa lalu, masa kini dan masa depan. Karena itu setiap jaman pasti ada konsep, strategi, dan mekanisme tertentu untuk memajukan pendidikan.
Tentang itu, kami pun bercerita. Pada sebuah ruang guru yang sempit, dengan para guru kami di era 80-an. Tentang kreativitas dan inovasi, seturut jamannya. Karena pada prinsipnya: setiap orang ada jamannya, dan setiap jaman ada orangnya.
Pagi itu, Senin (7/9) tidak seperti biasanya. Suasana sekolah terlihat lengang. Maklum saja, para siswa diliburkan. Mereka mesti beralih dari belajar tatap muka ke belajar mandiri di rumah masing-masing.
Ini merupakan strategi belajar untuk mencegah penyebaran Covid 19. Apalagi di Manggarai sudah ke Zona merah lagi. Ada klaster Cireng, transmisi lokal pertama. Dengan 10 orang terkonfirmasi positif Coronavirus Disease.
Dengan mantap, saya melangkahkan kaki ke Sekolah Dasar Katolik Lao Ngkor itu. Sebuah lembaga pendidikan Sekolah Dasar dimana saya ditempa dan dididik. Sejumlah kenangan masa kecil pun berkecamuk. Mulai dari kegiatan studi sore, belajar malam di antara lampu-lampu pelita di ruangan sekolah. Masih banyak kenangan lainnya dari tahun 1986-1992.
Pada usianya yang ke-68 tahun, sekolah yang terletak di Desa Bangka Lao, Kecamatan Ruteng-Manggarai, NTT ini masih tegak berdiri. Meskipun beberapa sekolah lain di sekitarnya telah ada seperti SDI Til yang terletak pada sisi timur wilayah Desa Bangka Lao dan SDI Lapa yang berada di Desa Pong Lao.
Empat buah gedung sekolah dibangun menggantikan gedung setengah tembok yang menjadi warisan masa lalu. Sarana lain pun telah tersedia, seperti listrik yang memudahkan para siswa untuk belajar.
Tapi sejujurnya, anda pasti setuju. Pendidikan tahun 80-an dan sekarang berbeda. Tahun 80-an, fokus guru mengajar pada kegiatan membaca, menulis dan berhitung. “Bukan seperti sekarang, secara umum saja”, kata Yosep Rabu yang sudah purna tugas dari SDK Lao Ngkor pada saat itu.
Untuk memperkuat semangat literasi tersebut, segala cara ditempuh oleh para guru. Materi pengajaran pun sifatnya kontekstual. Para guru mengajar materi ajar dari berbagai macam hal yang dijumpai oleh para siswa dalam kehidupan sehari-hari. Hukuman bagi yang tidak tahu baca tulis atau tidak disiplin sangat keras. Teguran keras itu menjadi pemandangan yang biasa dikala itu.
“Namun sekarang, para guru tidak boleh melakukan seperti itu. Teguran keras tidak diperbolehkan lagi, terutama hukuman yang diberikan kepada siswa secara fisik”, kata seorang guru lain Bapak Sebastianus Keruru. Panduan mengajar pun, kata dia, sudah terprogramkan dalam bentuk Silabus, RPP dan materi ajar yang tersedia sesusai standar kurikulum yang ditetapkan.
Nah, saat ini dunia pendidikan juga ditantang akibat pandemi Covid 19. Para guru dituntut untuk melakukan inovasi menyeluruh yang sifatnya fleksibel, kreatif dan menyenangkan. Hal itu dimaksudkan agar tujuan pembelajaran dapat dicapai secara optimal. Terutama dengan pembelajaran yang dianggap efektif mencegah penyebaran Covid 19 yaitu pembelajaran daring atau online.
![]() |
Foto : saat bercerita |
Metode pembelajaran daring ini merupakan sesuatu yang baru. Dimana metode ini memiliki mekanisme tersendiri yang membutuhkan kesiapan dari penggunanya. Meskipun diakui bahwa, pembelajaran daring ini kurang efektif karena tingkat literasi, ekonomi dan latar belakang pendidikan dari para guru dan orang tua yang sangat beragam.
Keluhan tentang efektivitas belajar mandiri ini tentu saja sangat dirasakan oleh para guru. Salah satunya, dikeluhkan oleh Ibu Bernadeta Timung, salah seorang guru senior di sekolah itu. Dirinya menjelaskan bahwa pembelajaran daring ini begitu sulit diterapkan, terutama kepada peserta didik Kelas I (satu) SD.
“Cukup sulit bagi kami untuk mengajar anak-anak kelas Satu SD. Terutama belajar baca tulis dan berhitung. Karena kebanyakan dari anak-anak itu belum bisa membaca dan menulis. Susah kami ajarkan dengan metode online seperti ini,” keluh Ibu Bernadeta.
Harapan satu-satunya agar anak-anak tetap efektif melakukan pembelajaran di rumah adalah bimbingan dari para orang tua. Orang tua menjadi pendidik pertama di rumah. Namun, sekali lagi, tidak semua orang tua mampu secara efektif dalam melakukan pendampingan dan pendisiplinan anak belajar di rumah.
Sedangkan peran guru di sekolah tidak lagi dianggap sebagai satu-satunya sumber ilmu pengetahuan bagi para siswa – sebagaimana pada era 80-an. Karena itu dibutuhkan inovasi serta kedisiplinan tinggi dari para guru dengan menggunakan sarana informasi dan teknologi yang tersedia.
“Untuk itu yang dibutuhkan saat ini adalah inovasi dari para guru kita. Agar bisa menyesuaikan dengan perkembangan jaman”, kata saya pada saat itu.
Namun pada kenyataannya, kesempatan untuk belajar mandiri di rumah ini digunakan sebagai ajang untuk berlibur yang telah dilaksanakan sejak 16 Maret 2020 lalu.
Mau tidak mau!
Komentar
Posting Komentar