Foto : By Endok Cudu |
"Tuhan Yesus, tolong saya! Terima kasih”. Setelah mengucapkan kata-kata itu, Romo Fridus kemudian menghembuskan nafasnya yang terakhir.
Peristiwa kegelisahan dalam sakratul maut itu begitu singkat. Sebagaimana disaksikan oleh salah seorang kerabat, Johanes Santo yang kebetulan saja berada bersamanya di kala itu. Dia mengisahkan, detik-detik jelang kepergiannya saat itu terjadi sangat cepat.
Sore itu, Minggu (1/11/2020) hujan turun sangat lebat. Suasana Paroki St. Wihelmus Ngkor terlihat lengang. Sepi. Setelah satu persatu pengurus paroki meninggalkan rumah pastoran paroki. Maklum saja, eforia pentahbisan Imam Baru RD Jimmy Mala belum usai.
John biasa ia disapa, bercerita kalau dirinya tergerak untuk menyambangi pastoran Paroki pada saat itu, meskipun hujan mulai mengguyur. Sampai di sana, dia pun sempat bercerita dengan Romo Fridus Alm di depan teras pastoran Paroki.
Namun di sela-sela itu, Romo Fridus terus saja mengalami muntah-muntah. Saya sendiri juga menyaksikan kondisi seperti itu beberapa jam sebelumnya. Kondisi yang sama juga dialaminya sepanjang perayaan Syukuran Imamat dari RD Jimmy Mala sehari sebelumnya (31/10).
Dua jam sebelum kepergiannya itu, dia mengatakan pada saya bahwa dia menderita sakit lambung biasa. Begitu juga kepada John, yang terus mendesaknya untuk segera ke RSUD Ruteng. Dia tetap menolak dengan alasan hanya sakit lambung biasa.
Dia
pun meminta John untuk memijat-mijat tubuhnya itu. Setelah dipijat, keringat dingin membasahi sekujur tubuhnya itu. Tampaknya dia tidak
sanggup lagi menahan rasa sakit yang luar biasa. Sebagai seorang pastor, Ia pun memberkati
dirinya sendiri. Kedua tangannya direntangkan di atas kepalanya itu, seraya
mengucapkan rintihan kata-kata, “Tuhan Yesus, tolong saya! Terima kasih”.
![]() |
Foto: Rm Fridus Berlutut saat diberkati oleh Imam Baru |
Sosok yang Tegar
Sesungguhnya Dia tidak mau terlihat lemah. Saya mendapati ekspresi kepasrahan yang dalam ketika berbincang-bincang dengannya. Dia sering tertunduk lesu dalam waktu yang sangat lama.
Pastor yang berkarya sejak 22 Desember 2015 silam di Paroki St. Wihelmus Ngkor Desa Bangka Lao, Kecamatan Ruteng - Manggarai itu, tampak begitu pasrah. Sulit membedakan antara ekspresi menahan rasa sakit dan semangat kepasrahan yang total akan penderitaannya. Namun, ekspresi ini tentu saja mau menunjukkan ketegaran dan tidak mau terlihat lemah di hadapan siapa pun. Terutama kepada umat yang dipimpinnya.
Hal yang paling nyata dari semangatnya itu ketika dia diagnosis menderita penyakit gagal ginjal akhir tahun 2018 lalu. Sepanjang satu setengah tahun dari saat itu, dia rutin melakukan cuci darah dengan durasi dua kali dalam seminggu.
Pada usia 8 tahun imamat, dia harus “pamit” dari seluruh umat paroki Ngkor untuk menghadap Sang Khalik. Dia pun pergi saat gereja merayakan hari Raya Semua Orang Kudus pada Minggu tanggal 01 Nopember 2020 lalu.
Hari ini Senin, 14 Desember 2020 kami merayakan misa 40 hari kepergiannya. Kami pun bercerita tentangnya, tentang kenangan akan kebersamaan itu. Dia telah memikul salibnya dalam penderitaan untuk kemudian bersatu bersama Kristus dalam kehidupan kekal.
Kami akan tetap mengenang Romo Fridus sebagai pribadi yang tegar. Semoga akan menjadi pendoa bagi kami semua. Kami juga percaya bahwa dengan kematian, hidup hanyalah diubah bukannya dilenyapkan.
Kepergian beliau meninggalkan kisah dan jejak yang tidak akan pernah terhapus oleh apa dan siapapun. Kecerdikan dan semangat membentuk Orang Muda Katolik Paroki St. Wilhelmus serta membangun komunikasi yang harmonis antara Orang Muda Katolik St. Wilhelmus Ngkor merupakan salah satu jejak yang luar biasa dari Rm. Fridus. Terima kasih untuk itu semua Romo. Bahagia dengan Persektuan Kudus Di Surga🙏
BalasHapusBenar sekali kaka. Semoga mendapat tempat yang layak di sisi Tuhan.
BalasHapus