![]() |
Foto: Aktivitas Sortasi Buah Cengkeh |
Beberapa bulan terakhir ini setiap kali saya main-main ke kampung halaman, saya seperti disambut dengan harumnya aroma cengkeh. Dari wajahnya para petani cengkeh yang terlihat berseri-seri itu, dapat dipastikan bahwa produktivitas cengkeh tahun ini sangat meningkat.
Demikian pun bapa mama saya di kampung. Salah satu komoditi andalan mereka untuk menopang kehidupan ekonomi sehari-hari adalah dari cengkeh. Tentu tak boleh dilupakan begitu saja ada kopi dan padi.
Dengan tingginya produktivitas cengkeh tahun ini tentu dibarengi dengan tingginya modal tenaga kerja.
Problem baru pun muncul yakni kesulitan mendapat buruh petik. Kalaupun ada, para pemilik cengkeh bertaruh dengan harga yang tinggi pula.
Para buruh petik kasih patok harga tinggi apalagi mereka yang takut ketinggian, karena petik cengkeh tidaklah mudah, nyawa jadi taruhannya. Harganya pun fantastis, biasanya di atas Rp.100.000 perorang sebagai upah buruh petik dan belum termasuk anggaran makan minum harian.
Mahalnya biaya buruh petik cengkeh disebabkan karena umur cengkeh yang sudah mencapai 40 tahun. Jadi, bisa dibayangkan sulitnya menjangkau pohon cengkeh yang tingginya mencapai belasan meter. Lalai sedikit langsung pindah alam.
Tak peduli apakah harganya menjanjikan atau tidak, cengkeh tetap menjadi primadona bagi para petani. Dari hasil jualan cengkeh, ekonomi rumah tangga diharapkan terus bergerak.
Meski harga cengkeh selalu fluktuatif dari hari ke hari, kata petani di
kampung "masih terbilang tinggi". Harga itu masih menguntungkan di
tengah harga barang kebutuhan pokok yang terus melambung.
Dengan menjual cengkeh, para petani (yang memiliki cengkeh) di kampung tetap
tersenyum lebar sehingga bisa bertahan di tengah kesulitan ekonomi
seperti saat ini.
*****
Melihat senyuman bapa mama saya di kampung, saya teringat kembali kisah seorang pastor di masa kecil saya. Tahun 1988, seorang pastor kapelan, Alm. Romo Frans Doko, Pr ditugaskan di wilayah kami yakni Stasi Ngkor _ tempat kelahiran saya.
Sebagai seorang imam muda, Alm. Romo Frans tak hanya berkarya melalui mimbar gereja melainkan turut terlibat dalam kehidupan ekonomi umat. Ia juga fokus dengan giat umat terutama membangkitkan semangat umat untuk mengolah lahan pertanian.
Ia memberi contoh dengan mengolah lahan gereja stasi Ngkor dengan berbagai jenis tanaman hortikultura seperti sayuran dan kacang-kacangan. Di sela-sela tanaman tersebut ia sisipkan anakan cengkeh.
Bagi kebanyakan umat, cengkeh bukanlah tanaman favorit di lahan mereka. Namun karena dekat dengan Romo Frans, kami justru kecipratan ilmu tentang cengkeh dan anakan cengkeh. Karena itu, hampir semua kebun kami ditanami dengan anakan cengkeh. Dari saat itulah, kami dapat memetik hasil cengkeh sebagaimana sekarang ini.
Nah ketika, saat ini cengkeh berada di bawah kisaran harga seratus ribu rupiah perkilo gram, petani masih tetap tersenyum. Setidaknya dengan harga segitu asap dapur tetap mengepul menghidupi keluarga.
"Ya, daripada tidak ada sama sekali," kata saudara saya.
Sebab ketika harga tinggi, kebanyakan dari petani baru mulai sadar untuk menanam cengkeh. Mereka baru mau cari cangkul dan parang untuk mulai bersihkan lahan. Dulu saat gencar-gencarnya tanam anakan cengkeh, mereka tidak mau menanam cengkeh, sebab katanya takut ketinggian pada saat musim petik.
Itulah kita.
Semangat petani cengkeh
BalasHapus