![]() |
Foto: Peserta test antri menunggu wawancara dan ujian |
Omvalen 22 Feb 2025
Di Sekolah Tinggi Pastoral atau STIPAS St Sirilus Ruteng, hari ini saya bertemu dengan beberapa kawan lama. Ada kakak kelas, teman seangkatan dan tak kurang juga adik kelas saat sekolah di Seminari Pius XII Kisol.
Tidak untuk reunian atau menghadiri acara tertentu, apalagi untuk belajar kembali teori-teori berpastoral untuk dipraktekan pada jaman kini. Tetapi kami bertemu di sela-sela mengantar buah hati demi mengikuti ujian seleksi masuk seminari Pius XII Kisol.
Berharap seperti tujuan mulia yang terpatri dari masing-masing kami dulu; "ingin menjadi hamba Tuhan, alias jadi Pastor".
Kata-kata pesimis yang sering diucapkan "Banyak yang dipanggil, sedikit yang dipilih", tidak menjadi penghalang bagi anak kami.
"Tes saja dulu. Jangan mundur. Kerja soal baik-baik", kata salah seorang dari antara kami kepada anaknya.
"Usahakan lulus, biar cukup hanya pi tempel foto saja di sana, Nana balik pulang," kata orang tua yang lain.
Kami yang lain, dari deretan para "mantan" anak seminari, dalam hati kecil juga membisikkan kalimat-kalimat sakti yang hampir mirip. Berharap agar sang anak bisa lulus dan dididik di seminari Kisol - agar bisa mengendus jejak sang Ayah.
Dengan begitu sang buah hati bisa melafalkan kembali semboyan yang masih terngiang di sanubari ayah, Opus Justitiae pax; perdamaian adalah karya keadilan".
Memang banyak motivasi masuk seminari Kisol. Ada yang karena didorong oleh orang tua. Ada yang karena dapat informasi dari keluarga terdekat. Ada juga yang karena keinginan sendiri. Ada yang benar-benar mau jadi Pastor.
Untuk yang terakhir ini, kembali ke adagium lama, banyak yang dipanggil sedikit yang dipilih. Maka alasan klasik ini bisa jadi bahasa hiburan, "curi ilmu". Sebuah alasan pembenaran dari kebanyakan orang tua yang pesimis ketika anaknya mau jadi Imam di tengah tantangan jaman yang kian masif seperti sekarang ini.
Bayangkan saja! Dari 271 orang peserta tes, yang dibutuhkan hanya 150 siswa. Separuhnya harus dieliminasi. Separuhnya saja yang bisa melenggang menghirup banyak cinta di seminari Kisol.
Meski demikian, yang lulus jangan senang dulu, sesewaktu bisa saja ada yang "cedok" atau gugur karena banyak hal. Bisa karena nilai yang kurang, karakter yang kurang pas dan macam alasan lainnya.
Kami, para mantan juga harap-harap cemas. Berharap agar anaknya bisa lulus agar orang tua bisa berkunjung setiap bulan, bernostalgia di pelataran seminari Kisol di bawah rimbunan pohon Kihujan dan pohon Ketapang.
Namun pertanyaannya, apakah para mantan ini benar benar mendorong anaknya masuk seminari Kisol untuk jadi pastor? Banyak diantara kami tak bisa menjawab. Selalu saja ada jawaban klasik yang terucap "coba-coba saja, siapa tahu."
Ya, siapa tahu "setan tolak, malaikat tendang, maka terjadilah". Kun Fayakun!
Wallahu'alam
.
Komentar
Posting Komentar