![]() |
Foto: suasana di sudut pasar |
Di sudut kecil Pasar Baru Labuan Bajo, seorang lelaki paruh baya duduk membelakangi hiruk pikuk.
Dagangannya tak banyak; sekadar tumpukan sayur-mayur hijau yang sudah mulai layu oleh panas. Tapi wajahnya, ah, wajah itu seperti memikul beban yang jauh lebih berat dari sayurannya sendiri.
Ketika saya menghampirinya untuk sekadar membeli beberapa bawang dan bayam, ia hanya melempar senyum tipis, seolah sebuah basa-basi yang tak mampu menyembunyikan resah di baliknya.
"Istri saya, Pak," katanya pelan, menjawab tatapan saya yang penuh tanya. "Biaya persalinannya sebentar lagi. Tapi saya belum tahu dari mana uangnya."
Inilah potret kehidupan di balik megahnya geliat pariwisata super premium Labuan Bajo. Sementara turis-turis berlalu-lalang mencari keelokan alam, lelaki ini bertarung tiap hari, bukan demi kemewahan, melainkan untuk sekadar bertahan.
Setahun yang lalu, ia hijrah dari ladangnya, jauh dari Labuan Bajo. Menjadi petani jahe tak lagi cukup. Ia bermimpi, siapa tahu berdagang sayuran di Labuan Bajo bisa membawa perubahan bagi keluarganya. Nyatanya, hidup sebagai pedagang pun tak lebih ringan, hanya cukup untuk makan sehari-hari. Modal tambahan, untuk mengembangkan lapak? Itu hanya mimpi jauh.
Percakapan kami terpotong ketika pembeli lain datang. Selesai melayani, ia bercerita panjang lebar tentang lapaknya.
Ternyata, lapak itu dulu milik seorang pedagang tua yang kini sakit-sakitan. Karena istrinya sering membantu pedagang tersebut, maka sang pemilik memberi kesempatan kepada lelaki ini untuk melanjutkan usaha kecil-kecilannya.
Namun, yang mencengangkan adalah asal sayurannya. "Dari Bajawa," katanya.
Sebagian besar stok sayuran di pasar ini ternyata tidak berasal dari wilayah sekitar seperti Manggarai atau Manggarai Timur. Bajawa, Bima, hingga Makassar menjadi pemasok utama.
Sebuah ironi, mengingat Manggarai Barat adalah sentra pariwisata yang seharusnya bisa menyuplai kebutuhan lokalnya sendiri.
Belajar dari Lelaki di Sudut Pasar
Kisah lelaki itu menggugah saya. Bukan sekadar soal perjuangannya menghadapi hari-hari sulit, tetapi juga tentang bagaimana kita, sebagai masyarakat dan pemerintah, masih punya banyak pekerjaan rumah.
Pariwisata holistik yang didengungkan seharusnya tak hanya bicara keindahan destinasi, tetapi juga memberdayakan rakyatnya—termasuk pedagang kecil seperti dia.
Labuan Bajo boleh menjadi gemilang di mata dunia. Tapi jangan lupa, gemilang itu seharusnya tak membuat sudut-sudut seperti yang dihuni lelaki itu terabaikan.
-----
Pasar Baru, akhir Februari 2025
Komentar
Posting Komentar