Langsung ke konten utama

Eksotisme Kampung Wae Rebo dan Perjalanan Yang Asyik

Foto, by Pa Dede

Oleh : Valensius Onggot


Inilah sebuah cerita perjalanan saya beberapa waktu lalu. Di sebuah kampung terpencil yang telah mendapatkan pengakuan atas upaya masyarakat setempat untuk melestarikan struktur Mbaru Niang nan unik.


Saya yakin anda telah memiliki begitu banyak referensi yang cukup dari berbagai informasi yang ada. Atau pun mungkin anda telah mengalami sendiri melalui kunjungan langsung ke obyek wisata tersebut. 


Kampung kecil di atas awan yang telah meraih penghargaan Warisan Budaya Asia-Pasifik UNESCO enam tahun silam. Tepatnya diumumkan tahun 2012.

Namun meski kunjungan saya yang ketiga kalinya ini, Wae Rebo tetap seperti “baru melihat”. Unik dan memberikan perasaan kebahagiaan tersendiri bagi setiap pengunjung, termasuk saya.

Iya, ini di sebuah negeri di atas awan. Negeri dimana awan berarak dalam balutan pantulan cahaya senja yang menyuguhkan nuasa keindahan yang tersebunyi. Negeri para leluhur. Negeri dengan keunikan budaya, adat istiadat, ditambah lagi keramahan warganya serta kearifan lokal yang masih kuat.

Saat berpapasan dengan wisatawan mancanegara, foto by Pa Dede

Trekking Yang Melelahkan

Bagi yang suka berpetualang, di sinilah tempatnya. Kurang lebih Empat kilometer bukanlah jarak yang bisa dilalui dengan mudah. Ini masih lebih baik. Tahun 2013, seingat saya tanggal 12 September 2013 dalam perjalanan pertama saya ke sana, jalan kaki dimulai dari SDI Denge. Sekitar 2 kilometer dari situ menuju Wae Lomba, tempat dimulainya trekking yang sesungguhnya.

Itu artinya perjalanan menuju Wae Rebo ditempuh sekitar 5 jam lebih. Tidak seperti sekarang dari Wae Lomba telah menghemat separuh waktu. Sekitar 2 jam lebih sedikit. 

Baca Juga: Pariwisata Sebagai Prime Mover dan Tantangan Bagi Masyarakat Adat

Perjalanan yang pertama itu, saya bersama dengan rombongan ibu Wakil Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Bidang Kebudayaan Prof. Wiendu Nuryanti. Beliau bertekat untuk bisa menyapa warga masyarakat Kampung Wae Rebo. 

Namun tekat membara saja tidaklah cukup. Dibutuhkan semangat juang yang tinggi supaya langkah kaki terus bergerak menyusuri jalan sempit di antara lereng perbukitan dan curam. Saat itu, Prof. Wiendu, akhirnya menyerah. Maka saya dan beberapa teman lain dari Humas Protokol Manggarai pun sigap. Sarung songke yang dipakai oleh masyarakat setempat menjadi sarana memudahkan Ibu Prof. Wiendu untuk terus melanjutkan perjalanan dengan menggotongnya sampai di Kampung Wae Rebo. Demikian pun esok harinya saat pulang dari Wae Rebo.

Setelah itu, menurut informasi wisatawan terus mengalir menuju kesana. Tentu saja karena aksesnya semakin mudah. Dari Wae Lomba sebagai titik start menikmati alam nan indah permai.


Prof. Zudan berfoto bersama dengan warga kampung Wae Rebo, Foto by Pa Dede

Meski Terisolasi, Negara Tetap Hadir Bagi Masyarakat Adat Wae Rebo

Kata-kata ini saya kutip dari Dirjen Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kementerian Dalam Negeri Prof. DR. Zudan Arif Fahrulloh, SH. MH saat menyerahkan sejumlah dokumen kependudukan kepada warga masyarakat adat Kampung Wae Rebo pada Jumat, (12/7/2019) kemarin. Saya pun ikut serta dalam perjalanan tersebut, sekaligus menjadi pemandu acara.

Bahwa kehadiran pemerintah di tempat ini merupakan sebuah isyarat akan kehadiran negara di tengah masyarakat Wae Rebo. Meski terisolasi. 

“Sekarang ini semangat pemerintah sudah berubah. Dulu masyarakat yang ke pemerintah, namun sekarang pemerintah ke masyarakat untuk melayani adminstrasi kependudukan. Mudah mudahan dengan kehadiran kami ini membuat kehadiran negara ada di kampung ini,” tuturnya di hadapan masyarakat adat Kampung Wae Rebo. 

Pada saat itu, Prof Zudan serta rombongan dari Dukcapil Kemendagri, Dukcapil Propinsi dan Dukcapi Pemkab Manggarai menyerahkan beberapa dokumen kependudukan berupa KTP, Akta Kelahiran, Kartu Keluarga, Kartu Identitas Anak, Akta Kematian, dan Akta Perkawinan. 

Tidak hanya Prof. Zudan yang berbangga hati. Sekaligus menyampaikan rasa bahagianya karena bisa mengunjungi Wae Rebo. Beberapa minggu sebelumnya, Gubernur NTT Viktor Bungtilu Laiskodat telah melakukan perjalanan yang sama. Bahkan Beliau sudah kali kedua mengunjungi tempat tersebut. 

Itu artinya, semua orang bangga dengan Wae Rebo yang masih mempertahankan tradisi rumah kerucut yang sudah lama terpelihara. Apalagi sebelumnya tanggal 27 Agustus 2013 dipublikasikan Wae Rebo yang mendapatkan penghargaan tertinggi dari UNESCO Asia-Pasific Awards for Cultural Hertage Conservation atau penghargaan untuk konsevasi warisan budaya.

Diperjalanan sempat berbincang dengan anak-anak yang menuju ke Kampung Kombo, Foto By Pa Dede

Kehidupan Harian Masyarakat Wae Rebo

Kehidupan harian masyarakat Wae Rebo sama seperti masyarakat lainnya di Manggarai yaitu dari hasil pertanian, terutama kopi. Ada dua kampung utama yaitu kampung Kombo dan Wae Rebo. Kampung Kombo ini letaknya berdekatan dengan kampung terakhir di Denge, Desa Satar Lenda, Kecamatan Satar Mese Barat-Manggarai.

Karena itu untuk mensuplai kebutuhan hidup mulai dari beras sampai dengan kebutuhan lainnya semuanya didatangkan dari Kampung Kombo. Anak-anak juga disekolahkan di kampung Kombo. Karena itu, saat melaksanakan trekking menuju Wae Rebo, saya sering berpapasan dengan sejumlah anak yang kembali ke kampung Kombo sambil memikul hasil kopi yang sudah diolah.

Anak-anak pun sudah dipisahkan dengan keluarganya sejak masuk Sekolah Dasar. Setiap akhir pekan biasanya mereka pulang ke kampung Wae Rebo sekaligus membawa serta dengan beras maupun barang lainnya untuk kebutuhan selama sepekan dan juga untuk kebutuhan pelayanan tamu yang berkunjung.

Namun karena Wae Rebo sudah menjadi tempat wisata yang setiap hari dikunjungi oleh para wisatawan baik lokal maupun manca negara, maka untuk menopang kehidupan harian mereka saat ini masyarakatnya bisa hidup dari pariwisata. Hal itu dijelaskan Ketua Lembaga Adat Fransiskus Mudir, saat menerima Prof. Zudan dalam ritus tuak curu dan manuk kapu di Niang utama.

Tujuh rumah adat berbentuk kerucut inilah yang menjadi kebanggaan sekaligus menopang kehidupan masyarakat Wae Rebo. Tujuh rumah dengan atap rumbia yang menjulang tinggi ini telah bertahan selama 19 generasi. Hawanya yang sejuk tentu saja menambah suasana alam perkampungan yang dikelilingi deretan pengunungan dan bukit yang berdiri tegak.

Waktu pun beranjak senja, udara mulai dingin. Maklum tempat tersebut berada di atas ketinggian 1.200 meter di atas permukaan laut. Kalau di Ruteng saja, anda bisa merasakan suhu udara sampai 9 Derajat Celcius, apalagi di Wae Rebo. Akhirnya kami pun pamit. 


Salam.

Terima kasih kepada Pa Dede teman seperjalanan saya, sebagai Kasubag Humas pada Bagian Humas dan Protokol Setda Kabupaten Manggarai yang telah mengabadikan moment yang tak terlupakan ini dalam jepretan terbaiknya. 

 

Foto dari Pa'ang Wae Rebo, Foto By Pa Dede

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pesta Sambut Baru; Salah Satu Hadiah Terbaik Orang Tua?

Foto di Depan Gereja Katedral Ruteng Oleh : Valensius Onggot Wajahnya sumringah. Ketika begitu banyaknya orang yang datang memberikan ucapan selamat.  “Selamat ya nak!”  Dia pun menerima ucapan selamat itu dengan rasa bangga. Wajahnya tambah ceria. Bak Ratu sehari. Itulah yang dialami oleh anak saya, Cecilia beberapa minggu yang lalu (5/5/2019). Juga mungkin dialami oleh anak-anak lainnya. Apalagi saat ini lagi musimnya pesta sambut baru. Kemarin ditelpon oleh seorang teman, undang saya karena anaknya sambut baru Minggu esok.   “Makasih undangannya kawan!” kata saya. Bagi seorang anak yang beriman Katolik, penerimaan komuni pertama adalah sesuatu yang sangat dinantikan. Karena itu begitu banyak persiapan yang mesti dilakukan. Ada persiapan rohani, baik untuk si anak maupun bagi para orang tua. Namun yang merepotkan adalah persiapan jasmaniah. Pesta-pesta . Ada yang bercerita, kalau sebelumnya si anak turut sama ajakan orang tua. Tak ada pesta-pesta . Yang ada n...

Sejenak “Berkontemplasi” Menikmati Sawah Lingko Cara

Sebagian dari anda tentu sudah mengenal Lodok Lingko Cara yang terletak di Desa Meler, Kecamatan Ruteng, Manggarai. Namun bila anda yang belum ke sana, saya sarankan; carilah kesempatan sejenak untuk menikmati sejuta keindahan alam nan unik yang merupakan warisan masa lalu orang Manggarai itu. Untuk itulah saya bersama keluarga singgah sebentar di lokasi tujuan wisata tersebut. Dengan karcis masuk seharga super murah Sepuluh Ribu Rupiah, perjalanan menikmati keindahan Spider web rice field dari puncak Weol Kelurahan Wae Belang, pun dimulai. Hanya sekitar 400 meter dari jalan raya, kami dan para pengunjung lainnya sudah bisa sampai di puncak Weol. Sedikit bersusah payah, karena harus melewati 200-an anak tangga dengan sedikit treking curam. Untuk kesehatan, nah... ini bagus bagi mereka yang berat badan lagi naik. Di puncak Weol ini, hamparan sawah yang luas akan menjadi suguhan yang enak dipandang. Makanya, anak saya Gavin tiba-tiba mengucapkan kata “amazing” dari mulut...

Hendak Kuliah di Amerika, Ini Konsep Pendidikan Menurut Angela

Oleh : Valensius Onggot "Pendidikan itu adalah investasi," Angela Namanya Angela Merici G. Adem. Umurnya baru 21 Tahun. Ketika ia lulus dalam proses seleksi beasiswa S2 di luar Negeri tahun 2017 silam. Saat itu, baru enam bulan mengajar pada sebuah sekolah swasta di Kabupaten Manggarai. Tepatnya di SMAK St. Stefanus Ketang – Kabupaten Manggarai.  Di usia yang terbilang muda, 20 tahun, Angela sudah mendapatkan gelar sarjana S1 dari Universitas Negeri Malang dengan jurusan yang paling diminatinya; Matematika.  Alur cerita perjalanan hidupnya tentu seharusnya sudah berubah. Ia sudah menjadi guru Matematika dan merasakan nikmatnya menjadi staf pengajar, sesuai gelar kesarjanaannya itu.  Namun tidak bagi Angela. Peluang-peluang baru selalu terbuka. Pendidikan baginya adalah investasi jangka panjang. Tidak cukup hanya menjadi seorang guru, terutama guru di Indonesia Timur yang memiliki catatan buruk soal sarana dan prasarana pendidikan. “Saya mengambil kuliah...

Angela: Kukirimkan Pesan Cintaku Dari Universitas Columbia ke Tana Nuca Lale

Oleh : Valensius Onggot Angela: Foto di depan Columbia University Angela benar-benar sudah tiba di New York Amerika Serikat. Lebih tepatnya dia sudah mengunjungi kampus barunya, Columbia University. Setelah perjalanan panjang dan melelahkan dari Indonesia menuju Amerika. Lihatlah foto selfie Angela di atas, tepat di pelataran Universitas Columbia. Angela ini tentu bangga karena bisa kuliah di salah satu kampus terbaik di Amerika. Universitas yang terletak di Manhattan pusat Kota New York ini masuk dalam Ivy League atau 8 universitas terbaik di Amerika; bahkan di dunia. Saya coba mencari tahu di Mbah Google. Siapa sih orang Indonesia yang pernah belajar di sana? Ternyata tidak banyak. Antara lain ada artis cantik, Cinta Laura. Artis yang  menyanyikan lagu, “becek, ga ada ojek” itu. Selain Cinta Laura, tentunya ada banyak lulusan terkenal dan berprestasi yang mendapatkan penghargaan Nobel. Salah satunya Harold C. Urey di bidang Kimia. Dan masih banyak para lulusan lainn...

Terima SK PPPK, Youtuber Ini Berlinang Air Mata

Foto bersama Jefri Agung Oleh Valensius Onggot Kabar baik datang di Bulan Juni. Terutama bagi tenaga PPPK atau Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja yang lolos seleksi pada 2021 lalu. Mereka akhirnya resmi menjadi pegawai pemerintah melalui Surat Keputusan pengangkatan sebagai Aparatur Sipil Negara. Tak terkecuali di Kabupaten Manggarai. Pelaksanaan penyerahan SK untuk guru dalam proses seleksi tahab 1 dan 2 diselenggarakan pada Jumat 3 Juni 2022. Penyerahan SK Bupati Manggarai tersebut dilaksanakan secara terpusat di Aula MCC Ruteng oleh Wakil Bupati Manggarai Heribertus Ngabut, SH. Ada hal yang menarik saat penerimaan SK tersebut. Dari 604 orang guru, saya mendapati seorang guru yang juga sering berkecimpung dalam media sosial. Dia adalah seorang Youtuber. Meski baru setahun jagung dengan subscribe yang masih bisa dihitung dengan jari, proses kreatifnya tak kalah dengan yang berpengalaman. Dia adalah Jefri Agung. Nama chanel youtubenya sama dengan namanya sendiri #htt...

Jalan Panjang Menemukan Seorang Imam Diosesan Pertama Dari Paroki St. Wihelmus Ngkor

Foto: Undangan Tahbisan Diakon Menjadi seorang Imam Katolik berarti mengikrarkan setia selibat, ketaatan dan kesahajaan hidup yang berakar dalam doa. Kami bangga ketika saudara kami ini memilih hidupnya menjadi seorang imam Katolik. Ini berarti dia memberi diri bagi Tuhan dan sesama dengan sukacita dan semangat rela berkorban bagi sesama. By : omvalen Ada sesuatu yang berbeda dari Paroki St. Wihelmus Ngkor tahun ini. Seluruh umat Paroki ini  bergembira menyongsong akan ditahbiskannya seorang imam diosesan/Imam Projo untuk pertama kalinya. Dia adalah Frater Stefanus Jimmy Wintoyo Mala .  Pentahbisan Diakonatnya akan dilaksanakan pada tanggal 31 Juli 2020 nanti oleh YM Uskup Ruteng. Kalau tak ada aral rintangan, Frater Jimmy ini selanjutnya akan ditahbiskan menjadi imam pada bulan Oktober 2020 bersama 9 Diakon lainnya. Tentu saja ini adalah sebuah kebanggaan tersendiri. Kebanggaan itu tidak hanya diperuntukkan bagi pasangan Bapak Kosmas Mala dan Ibu Bernadeta Ti...

Menakar Konsistensi dan Inovasi Guru SMPN 4 Langke Rembong di Era Pandemi Covid 19

Foto bersama Kepsek SMPN 4 LR Oleh: Valensius Onggot Ketika   pandemi Covid 19 ini menghantam dunia pendidikan, SMP 4 Langke Rembong sesungguhnya telah siap dengan terobosan dan strategi agar keberlangsungan proses pembelajaran tetap terjaga. Terobosan dan strategi ini ditempuh melalui berbagai kegiatan pelatihan bagi para staf pengajarnya. Terutama penggunaan sarana teknologi informasi yang berbasis online . Saya pun berkesempatan menimbah ilmu dari Bapak Wenseslaus R. Yan pada Jumat (25/9) kemarin. Dia adalah seorang konseptor yang menahkodai SMPN 4 Langke Rembong. Kami bercerita tentang pendidikan yang berubah dalam sebuah paradigma baru akibat hantaman pandemi Covid 19. Hal-hal lain, juga tak luput dari pembincangan. Terutama situasi kekinian yang menjadi percakapan publik. Namun jujur saja; saya begitu takluk di hadapan semangat dan optimismenya membangun dunia pendidikan. Terbukti di bawah kepemimpinannya, Sekolah Menengah Pertama yang terletak di Lao, Kecamatan Langke Rembon...