Foto: by Rudy Tatto
Waktu menunjukkan pukul 18.00 Wita ketika saya tiba di Gendang Nampo, dalam perjalanan sekitar 2 jam dari Ruteng, Ibu Kota Kabupaten Manggarai. Hari mulai gelap. Hanya cahaya lampu senter menerangi lumpung yang letaknya tepat berada di pelataran rumah Gendang Nampo.
Tampak beberapa orang tua - yang akhirnya saya ketahui sebagai tu'a teno dan beberapa tu'a panga - sedang melaksanakan ritus pemberian sesajian di atas lumpung. Tu'a teno memegang sebutir telur ayam mentah seraya mengucapkan ujud doa dengan suara lirih. Diketoknya bagian ujung dari telur ayam tersebut dan kemudian diletakkan di atas lumpung atau mezbah sesajian.
Saya dan teman-teman lainnya pun mendekat. Beberapa alat rekam pun dibawa serta. Dan saat itulah saya dan beberapa teman seperjalanan mendokumentasikan sekelumit cerita dari budaya orang Manggarai dalam sejarah pembagian lingko.
Inilah sepenggal kisah perjalanan pada Kamis (4/7/2019) lalu yang coba saya bagikan, terutama bagi kaum muda. Generasi milenial, jaman now. Bahwa beberapa Lodok Lingko yang ada bahkan yang telah menjadi obyek wisata unik serta menjadi ikon budaya Manggarai, bermula dari sini. Sayang kalau tidak dibagikan!
Apalagi saat ini kata lingko sedang berproses menjadi salah satu kata bahasa Indonesia. Artinya orang Manggarai harus bangga.
Lebih bangga lagi ketika kata lingko ini telah digunakan oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta Anis Baswedan. Dimana Gubernur Anis menggunakan kata Lingko ini untuk merepresentasikan sistem transportasi massal yang terintegrasi di Jakarta dengan nama Jak Lingko. Jak Lingko ini dipakai untuk mencerminkan moda transportasi terintegrasi di Jakarta dalam program transportasi satu harga untuk satu kali perjalanan.
Teing Hang dan Reke Lodok
Malam itu pun, saya sangat menikmati suasana di rumah gendang Nampo. Meskipun diliputi oleh rasa penasaran. Penasaran bagaimana para warga setempat atau wa'u dalam satu golo menghitung-hitung bagian dalam proses lodok lingko. Maklum, saya dan mungkin generasi ini hanya bisa menikmati saja. Sebagaimana di Lodok Lingko Meler yang menjadi obyek wisata saat ini.
Acara ini merupakan sebuah rapat yang akan menentukan yang disebut dengan rembo yang ikut dalam pembagian lodok. Rembo ini semacam hak dari setiap panga untuk mengambil bagian dalam lodok lingko.
Dalam rapat yang sama juga disepakati siapa yang mengambil bagian dalam sor moso atau acara pembagian lingko. Biasanya setiap panga sudah mengetahui siapa dari keluarganya yang membutuhkan lahan.
![]() |
Suasana di gendang Nampo |
Malam itu pun, saya sangat menikmati suasana di rumah gendang Nampo. Meskipun diliputi oleh rasa penasaran. Penasaran bagaimana para warga setempat atau wa'u dalam satu golo menghitung-hitung bagian dalam proses lodok lingko. Maklum, saya dan mungkin generasi ini hanya bisa menikmati saja. Sebagaimana di Lodok Lingko Meler yang menjadi obyek wisata saat ini.
Acara ini merupakan sebuah rapat yang akan menentukan yang disebut dengan rembo yang ikut dalam pembagian lodok. Rembo ini semacam hak dari setiap panga untuk mengambil bagian dalam lodok lingko.
Dalam rapat yang sama juga disepakati siapa yang mengambil bagian dalam sor moso atau acara pembagian lingko. Biasanya setiap panga sudah mengetahui siapa dari keluarganya yang membutuhkan lahan.
Orang luar pun boleh mendapatkan bagian dalam sor moso, namun dia harus mendekati tua teno dengan membawa seekor ayam dan sebotol tuak atau dalam bahasa setempat disebut kapu manuk lele tuak.
Acara dimulai dengan ritus kapu. Ritus kapu ini diperuntukan bagi para tamu yang hadir, maupun bagi sanak saudara yang berada di satu golo. Baik sebagai anak rona, anak wina, ase kae, maupun juga bagi pa'ang olo ngaung musi.
Sebagai tamu, saya juga mendapatkan kehormatan dalam tradisi kapu ini. Namun dalam kesempatan ini saya mesti melewati acara tesi yang disebut Lu'u mata do. Sejumlah uang diberikan sebagai tanda duka untuk semua orang yang telah meninggal, supaya neka babang agu bentang, dan dianggap menjadi bagian dari masyarakat setempat. Selanjutnya ritus kapu ini dijawab sebagai tanda bahwa sang tamu dapat terlibat dalam acara tersebut.
Sebagai puncak dari acara ini, adalah acara teing hang. Seekor ayam merah menjadi hewan kurban sebagai sesajian bagi para leluhur.
Menentukan Lumpung
Pada hari berikutnya, pagi-pagi sekali kami kembali ke rumah Gendang Nampo. Matahari bersinar terang. Waktu menujukkan pukul 7.30. Semua anggota keluarga atau yang disebut wa'u telah berkumpul di rumah gendang. Tu'a teno tampak duduk dan telah lama menunggu.
Acara dimulai dengan ritus kapu. Ritus kapu ini diperuntukan bagi para tamu yang hadir, maupun bagi sanak saudara yang berada di satu golo. Baik sebagai anak rona, anak wina, ase kae, maupun juga bagi pa'ang olo ngaung musi.
Sebagai tamu, saya juga mendapatkan kehormatan dalam tradisi kapu ini. Namun dalam kesempatan ini saya mesti melewati acara tesi yang disebut Lu'u mata do. Sejumlah uang diberikan sebagai tanda duka untuk semua orang yang telah meninggal, supaya neka babang agu bentang, dan dianggap menjadi bagian dari masyarakat setempat. Selanjutnya ritus kapu ini dijawab sebagai tanda bahwa sang tamu dapat terlibat dalam acara tersebut.
Sebagai puncak dari acara ini, adalah acara teing hang. Seekor ayam merah menjadi hewan kurban sebagai sesajian bagi para leluhur.
Menentukan Lumpung
![]() |
Sebutir telur dalam menentukan Lumpung |
Saya pun berada di antara mereka. Hanya duduk terpisah. Sebagai orang muda yang mencoba merekam peristiwa unik bersejarah itu.
Tidak lama, diambilnya seekor ayam putih. Diucapkannya beberapa ujud doa kepada leluhur. Seekor ayam tersebut kemudian disembeli, dan beberapa bagian tubuhnya ayam itu dibakar untuk dijadikan persembahan.
Selesai menyuguhkan persembahan kepada leluhur, tua teno dan tua panga mengajak seluruh wa'u untuk keluar dan berjalan mengitari lumpung atau mezbah persembahan tersebut. Kemudian rombongan ini pun menuju ke lokasi lingko untuk selanjutnya membagi lahan tersebut kepada orang yang sudah ditentukan.
Jarak lokasi lingko dengan gendang Nampo itu sekitar 7 kilometer. Rombongan tidak melewati jalan umum tapi menggunakan jalan yang digunakan oleh para leluhur. Mereka menyebutnya dengan istilah salang ceki. Bunyi Gong pun terus diperdengarkan mengiringi perjalanan mereka.
Tidak langsung membagi. Tua teno dan wa'u dari satu golo kemudian menentukan tempat dimana lumpung harus berdiri. Tempatnya mesti rata dan strategis. Yang kalau kita lihat sekarang di kampung dijadikan natas atau pelataran kampung.
Di tempat tersebut nantinya akan dilakukan berbagai macam acara termasuk tarian adat Manggarai yaitu tarian Caci. Di tempat tersebut juga akan dibangun rumah gendang. Sehingga kemudian kita mengenal istilah gendang onen lingkon peang.
Ritual Tente Teno, Menandai Pembagian Lingko
Usai melaksanakan ritus tersebut, tua teno pun mengajak seluruh wa'u dari golo untuk menentukan tempat pertama pembagian lingko. Kayu teno yang bentuknya mirip seperti lesung itu pun disiapkan. Sebutir telur ayam diletakkan bersamaan dengan ditancapkannya sebatang kayu teno pada sebuah lubang yang telah digali sebelumnya. Dari kayu teno itulah nanti akan ditarik garis jari-jari lingkaran yang kemudian menjadi batas antara kebun atau langang.
Kemudian tua teno melingkarinya dengan seutas tali. Dan ditancapkan dengan kayu-kayu kecil yang disebut lance koe. Pada lance ini akan diikatkan tali (wase). Banyaknya tali tergantung jumlah panga dari satu golo.
Setelah semuanya diukur menggunakan jari maka seseorang dari antara mereka akan berdiri di belakang haju teno dan menggunakan mata telanjang untuk meneropong ke arah luar dari kayu kecil tadi untuk kemudian ditancapkan beberapa batang kayu membentuk jari-jari sekitar semeter mengelilingi haju teno tersebut. Setelah itu, seutas tali ditarik dari haju teno tersebut ke arah luar atau cicing yang dijadikan pembatas antar kebun atau yang disebut langang.
Selanjutnya, anggota masyarakat yang telah menerima lahan yang telah dibagikan itu segera membersihkan lahannya tersebut untuk kemudian ditanami dengan tanaman yang sesuai.
Menurut informasi yang saya peroleh, ketika musim panen nanti akan dilaksanakan syukuran panen atau yang disebut dengan acara penti weki peso beo. Seekor kerbau jantan akan menjadi hewan korban dalam acara tersebut.
Usailah sudah ritus tente teno dalam pembagian lingko dalam tradisi orang Manggarai. Dan hari telah beranjak senja. Angin dingin sudah menusuk kulit.
Tidak lama, diambilnya seekor ayam putih. Diucapkannya beberapa ujud doa kepada leluhur. Seekor ayam tersebut kemudian disembeli, dan beberapa bagian tubuhnya ayam itu dibakar untuk dijadikan persembahan.
Selesai menyuguhkan persembahan kepada leluhur, tua teno dan tua panga mengajak seluruh wa'u untuk keluar dan berjalan mengitari lumpung atau mezbah persembahan tersebut. Kemudian rombongan ini pun menuju ke lokasi lingko untuk selanjutnya membagi lahan tersebut kepada orang yang sudah ditentukan.
Jarak lokasi lingko dengan gendang Nampo itu sekitar 7 kilometer. Rombongan tidak melewati jalan umum tapi menggunakan jalan yang digunakan oleh para leluhur. Mereka menyebutnya dengan istilah salang ceki. Bunyi Gong pun terus diperdengarkan mengiringi perjalanan mereka.
Tidak langsung membagi. Tua teno dan wa'u dari satu golo kemudian menentukan tempat dimana lumpung harus berdiri. Tempatnya mesti rata dan strategis. Yang kalau kita lihat sekarang di kampung dijadikan natas atau pelataran kampung.
Di tempat tersebut nantinya akan dilakukan berbagai macam acara termasuk tarian adat Manggarai yaitu tarian Caci. Di tempat tersebut juga akan dibangun rumah gendang. Sehingga kemudian kita mengenal istilah gendang onen lingkon peang.
Ritual Tente Teno, Menandai Pembagian Lingko
![]() |
Ritual Tente Teno |
Kemudian tua teno melingkarinya dengan seutas tali. Dan ditancapkan dengan kayu-kayu kecil yang disebut lance koe. Pada lance ini akan diikatkan tali (wase). Banyaknya tali tergantung jumlah panga dari satu golo.
Tancapan lance itu disesuaikan dengan ukuran menggunakan jari tangan atau moso. Ukuran yang lebih besar diberikan kepada tua teno dan keluarganya dengan diukur menggunakan empat jari tangan yang disebut dengan lide rembo. Sedangkan bagi keluarga lainnya diukur menggunakan tiga jari, atau dua jari yang disebut dengan lide lance.
Setelah semuanya diukur menggunakan jari maka seseorang dari antara mereka akan berdiri di belakang haju teno dan menggunakan mata telanjang untuk meneropong ke arah luar dari kayu kecil tadi untuk kemudian ditancapkan beberapa batang kayu membentuk jari-jari sekitar semeter mengelilingi haju teno tersebut. Setelah itu, seutas tali ditarik dari haju teno tersebut ke arah luar atau cicing yang dijadikan pembatas antar kebun atau yang disebut langang.
Selanjutnya, anggota masyarakat yang telah menerima lahan yang telah dibagikan itu segera membersihkan lahannya tersebut untuk kemudian ditanami dengan tanaman yang sesuai.
Menurut informasi yang saya peroleh, ketika musim panen nanti akan dilaksanakan syukuran panen atau yang disebut dengan acara penti weki peso beo. Seekor kerbau jantan akan menjadi hewan korban dalam acara tersebut.
Usailah sudah ritus tente teno dalam pembagian lingko dalam tradisi orang Manggarai. Dan hari telah beranjak senja. Angin dingin sudah menusuk kulit.
Sebagai salah seorang yang mencoba merekam sejarah pembagian lingko, saya harus pulang. Tentu sambil bercerita bahwa saya tidak hanya menikmati keindahan lingko yang menjadi tujuan wisata saat ini seperti di lingko Meler, melainkan saya juga terlibat langsung dalam ritual membagi lahan berbentuk jaring laba-laba yang merupakan warisan leluhur orang Manggarai.
Unik, bukan?
Unik, bukan?
![]() |
Aksi omvalen tente teno |
Komentar
Posting Komentar