![]() |
Foto :Ilustrasi |
Pandemi Covid 19 ini belum ada tanda-tanda akan segera berakhir. Jumlah yang terkonfirmasi positif masih turun naik. Bahkan sejak pemberlakuan era new normal, angka pertambahannya terus melambung -syukurlah di Kabupaten Manggarai zona hijau. Akibatnya, ekonomi masyarakat anjlok. Daya beli masyarakat jadi menurun.
Ini pertanda krisis ekonomi telah melanda negeri. Karena itu kondisi saat ini tidak bisa dikatakan lagi sebagai keadaan yang biasa-biasa saja.
Di tengah melemahnya ekonomi akibat gempuran Covid 19, kehadiran Social Safety net atau jejaring pengaman sosial membuat masyarakat bisa menarik napas legah. Bantuan sosial ini kemudian dianggap sebagai cara jitu untuk mendongkrak kembali ekonomi masyarakat. Duit akan kembali beredar di tengah masyarakat. Roda ekonomi tidak mati sebelum benar-benar disapu oleh ganasnya paparan virus corona.
Bantuan social safety net ini disalurkan melalui Bantuan Sosial Tunai (BST) oleh kementerian Sosial, Bantuan Langsung Tunai atau BLT dianggarkan melalui dana desa, dan masih banyak jenis bantuan lainnya. Itulah alasannya mengapa pada beberapa pekan terakhir ini, masyarakat kita boleh kembali tersenyum.
Daya beli masyarakat pun menjadi kuat. Ada permintaan (demand). Sektor produksi pun terus menyediakan barang atau jasa.
Namun, cerita dibalik distribusi bantuan jaring pengaman sosial ini memantik sejuta tanya. Bahkan menimbulkan sejumlah polemik. Cerita-cerita miris soal dugaan “salah sasaran” terus menjadi menu utama pada media daring dan media cetak sampai saat ini.
Kepada siapakah bantuan ini diberikan?
Tentu saja kepada sekian masyarakat yang terdampak pandemi covid 19. Dengan parameter atau alat ukur yang berbeda. Sebab setiap orang memiliki kesusahannya sendiri-sendiri.
Terdampak karena apa? Bisa jadi karena kehilangan lapangan pekerjaan. Bisa jadi karena omset penjualan barang dan jasa jadi menurun. Ditambah dengan berbagai persoalan ekonomi lainnya.
Adu derita atau "berkompetisi" siapa yang paling menderita bisa dijadikan alat ukur siapa yang paling beruntung menerima bantuan cuma-cuma itu. Bukan siapa yang paling membutuhkan berdasarkan sejumlah kriteria penciri kemiskinan.
Tidaklah mengherankan kalau saat pembagian BST atau BLT ada gejolak sosial yang kian memanas di dalam masyarakat. Aparat desa diduga berlaku tidak adil; dan hanya mementingkan keluarga dan kerabatnya sendiri.
Terhadap fenomena ini ada indikasi bahwa di hadapan bantuan yang diberikan secara cuma-cuma itu, siapa saja bisa "menjual diri" sebagai orang yang paling menderita. Adu derita inilah yang menjadi modal kepada siapa bantuan itu diberikan. Bukan adu kompetensi, adu kecerdasan serta adu kemampuan dan bakat.
Beberapa kriteria untuk meminimalisir subjektivitas tafsiran ukuran penderitaan juga tidaklah cukup. Meski tim verifikator dari Kabupaten pada awal pandemi ini telah melakukan validasi kepada masyarakat penerima bantuan. Yang dicari adalah obyektivitas penilaian. Layak atau tidak layak.
Namun fakta menunjukkan, yang dianggap tidak layak menerima bantuan, justru menjadi bagian dari kalangan kaum derita ini. Silahkan baca sendiri informasi soal ini dalam banyak informasi media.
Soal siapa yang paling menderita tentu tak ada ukurannya. Apalagi mengukur penderitaan pada orang yang berbeda pada situasi dan kondisi yang berbeda pula. Seseorang yang tidak punya duit untuk mengisi BBM pada kendaraan diperbandingkan dengan seorang yang tak punya duit untuk membeli beras sekadar untuk makan pada hari itu. Atau betapa menderitanya seorang pedagang pasar akibat tak ada pembeli barang dagangannya dengan deritanya seorang karyawan karena kehilangan pekerjaan.
Atau mengukur deritanya orang yang benar-benar berkekurangan di luar sana kemudian diperbandingkan dengan seorang mahasiswa yang tak bisa lagi membeli paket kuota internet untuk bisa bermedia sosial lagi.
Ini tentu sangat berat. Sangat menguras energi. Subjektifitas penilaian tak bisa dihindari. Maka tak heran kalau konflik sosial rebutan jatah ini seringkali terjadi.
Permendesa Nomor 6 tahun 2020 tentang Perubahan atas Permendesa Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi Nomor 11 tahun 2019 tentang Prioritas penggunaan dana desa tahun 2020, sebetulnya telah mengatur.
Di sana disebutkan bahwa yang berhak menerima bantuan - sebagaimana diatur pada pasal 8A ayat 3 - adalah keluarga miskin sebagaimana dimaksud pada ayat 2 yang menerima BLT dana desa merupakan keluarga yang kehilangan mata pencaharian atau prakerja; belum terdata menerima program Keluarga Harapan (PKH), bantuan pangan non-tunai (BPNP) dan kartu prakerja, serta yang mempunyai anggota keluarga yang rentan sakit menahun/kronis.
Membaca dampak pemberian bantuan pemerintah
Saat menyambangi para menerima BLT di beberapa desa di Manggarai - NTT, saya menemukan rasa kegembiraan yang sama atas berbagai bentuk perhatian dan dukungan dari pemerintah. Mereka begitu bahagia. Juga jelas terpancar dari raut wajah mereka.
Sebagaimana respon dari salah seorang penerima manfaat desa Golo Lanak - Manggarai NTT Paulina Bila (63) saat kami berkunjung ke sana beberapa waktu lalu. Dengan diterimanya dana bantuan ini, dirinya bisa mengisi kekurangan dalam rumah tangganya. Seperti membeli beras, membeli obat untuk anaknya yang lagi sakit menahun.
Namun siapa sangka, kalau dana bantuan pemerintah tersebut disalahgunakan oleh para penerima manfaat lainnya. Seperti maraknya "spekulasi mimpi" lewat judi online atau pun digunakan untuk hal lain yang tidak sesuai peruntukkannya.
Namun kembali lagi, bantuan ini tidak untuk berleha-leha. Mesti digunakan sesuai prioritas kebutuhan. Sebab sejatinya bantuan itu untuk memberdayakan bukan meninabobokan.
Maka anjuran pemerintah pada masa pendemi ini perlu menjadi perhatian bersama. Hiduplah secara bijaksana dan cermat. Mungkin inilah resolusi hidup pada era new normal sebagaimana saat ini.
Tugas kita adalah berdoa agar virus ini segera berlalu.
Salam.
Komentar
Posting Komentar