![]() |
Foto; petugas dari KSDA temukan sisa kayu ulah pembalakan liar |
Ruteng, 23 Maret 2025,
-----
Hutan Lok Pahar, dengan luasnya yang menjangkau 3.094 hektar, berdiri gagah di Manggarai Timur. Di atas tanahnya yang subur, tumbuh pohon-pohon besar yang seolah menyanyikan lagu tentang kehidupan.
Namun, alih-alih melantunkan harmoni, kini ia menangis. Tangisan yang hanya bisa didengar oleh mereka yang peduli pada keberadaan hutan sebagai mahakarya alam.
Dalam keheningan, hutan ini telah menjadi rumah bagi ribuan kehidupan, baik manusia maupun flora fauna yang dilindungi.
Ia adalah bagian dari Taman Wisata Alam Ruteng, kawasan yang membentang dari Cumbi di Manggarai hingga Elar di Manggarai Timur. Dengan sumber mata air yang menghidupi Desa Satar Nawang dan Kecamatan Congkar, Hutan Lok Pahar bukan sekadar wilayah konservasi, tetapi nadi kehidupan.
Namun, kisah pilu menyelimuti hari itu. Seorang petugas Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam Ruteng - KSDA, yang menjadi saksi bisu perjuangan melindungi hutan, bercerita tentang peristiwa pada Rabu, 19 Maret 2025. Ia dan beberapa petugas lainnya menemukan banyak batangan kayu dengan diameter di atas 52 cm, hasil pembalakan liar yang menghancurkan harapan.
Ketika patroli dilakukan, pelaku ditemukan sedang merapikan kayu olahan di pondok kecil yang berada di tengah hutan. Tak ada rasa bersalah di wajahnya. Petugas melakukan interogasi, membawa kasus ini ke ranah hukum, berharap ada titik terang di tengah gelapnya perambahan.
![]() |
Foto; petugas saat menyita kayu olahan dari hutan Lok Pahar |
Namun, cerita tak berhenti di sana. Keluarga pelaku datang ke kantor KSDA di Ruteng, membawa dalih dan tuntutan. Mereka mengklaim wilayah pembalakan itu sebagai hak ulayat, meminta barang bukti dikembalikan, dan mendesak mediasi kekeluargaan. Sebuah ironi yang menjadi babak baru dari konflik yang tak pernah selesai.
Angka berbicara lebih jelas dalam banyak fakta. Manggarai Timur adalah wilayah dengan tingkat perambahan hutan tertinggi di NTT. Tetapi, bagi petugas KSDA, angka itu adalah luka yang terbuka. Hutan Lok Pahar adalah simbol perjuangan yang belum rampung—dan mungkin tidak akan pernah rampung, kecuali ada perubahan nyata.
Pada 2012, harapan besar dicanangkan. Masyarakat, gereja, dan pemerintah dijadikan pilar utama pelindung konservasi. Tapi sekarang, harapan itu seperti bayangan di senja hari, makin memudar seiring waktu.
Lok Pahar adalah cerminan kita sebagai manusia. Ketika tangan yang seharusnya menjaga, justru merusak. Ketika dalil lebih dipentingkan daripada keberlanjutan hidup. Hutan ini tidak hanya kehilangan pohon, tetapi kehilangan rohnya.
Petugas KSDA, yang memandang hutan dengan hati yang penuh, berbisik lirih. "Hutan ini adalah kehidupan. Tapi, apakah kita masih peduli?"
(Tulisan ini hasil obrolan dengan saudara saya yang merupakan petugas KSDA Ruteng.)
Komentar
Posting Komentar