Oleh : Valensius Onggot
Tak bisa dipungkiri bahwa saat ini sektor pariwisata dijadikan sebagai prime mover atau pemicu utama bagi berkembangnya sektor-sektor ekonomi lainnya. Tentu saja ini berdampak pada terbukanya cakrawala kepariwisataan kita. Ada sebuah cara pandang baru. Pariwisata menjadi penyebab utama bertumbuhnya sektor lain.
Namun pada saat yang sama konsep keterbukaan ini justru menjadi tantangan tersendiri bagi masyarakat adat setempat. Bagaimana mempertemukan konsep pariwisata modern dengan aksi kultural pada masyarakat adat setempat yang sifatnya masih tertutup.
Tulisan ini tidak hendak menjawab kegalauan dari masyarakat adat yang saat ini masih tertutup dengan tren kepariwisataan modern. Tulisan ini hendak memperbincangkan sebuah perjalanan dari Tim Advance Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Republik Indonesia yang berkunjung ke Kabupaten Manggarai beberapa waktu lalu.
Saya pun ikut serta dalam aksi penjelajahan tersebut. Katakanlah seperti pemandu lokasi. Tim ini dipimpin oleh Alfian Ahmad bersama dua rekan lainnya yaitu mas Ilham dan Wahyu. Kami menuju ke beberapa tempat seperti kampung adat Ruteng Pu’u, Rumah Gendang Bangka Tuke, Rumah Gendang Mena, dan Rumah Gendang Carep. Semuanya ada di Kecamatan Langke Rembong, Manggarai NTT.
Sebagaimana biasa, pada setiap rumah Gendang kami diterima dengan ritus penyambutan tamu. Ada Tuak Curu dan Manuk Kapu. Ritus ini bermakna sebagai penanda keiklasan hati dari masyarakat setempat untuk menerima tamu. Dengan ritus ini diharapkan tamu tersebut dapat dijauhkan dari segala macam hambatan dan marabahaya yang mengganggu perjalananan mereka. Hal yang paling penting adalah sang tamu telah dibabtis menjadi bagian dari masyarakat setempat.
Tentu saja pada budaya orang Manggarai-Flores-NTT ini masih banyak lagi ritus-ritus lainnya. Dengan menjalankan ragam ritus tersebut, diyakini tradisi yang diwariskan dari generasi ke generasi berikutnya akan terus terjaga.
Ketua tim, Alfian Ahmad, menguraikan bahwa tugas dari Tim Advance ini adalah untuk melihat dari dekat kondisi masyarakat adat setempat terhadap aksesibilitas program pemerintah. Berbagai macam akses tersebut berupa pelayanan dasar seperti kesehatan, pendidikan maupun terhadap akses layanan lainnya.
“Kami ingin melihat kondisi kampung adat di Manggarai. Tugas kami di bidang kebudayaan salah satunya pemberdayaan masyarakat adat. Kami sebagai wakil dari pusat ingin memastikan bahwa masyarakat adat ini memiliki akses yang sama dengan masyarakat lainnya,” jelas Alfian.
Namun pada saat yang sama konsep keterbukaan ini justru menjadi tantangan tersendiri bagi masyarakat adat setempat. Bagaimana mempertemukan konsep pariwisata modern dengan aksi kultural pada masyarakat adat setempat yang sifatnya masih tertutup.
Tulisan ini tidak hendak menjawab kegalauan dari masyarakat adat yang saat ini masih tertutup dengan tren kepariwisataan modern. Tulisan ini hendak memperbincangkan sebuah perjalanan dari Tim Advance Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Republik Indonesia yang berkunjung ke Kabupaten Manggarai beberapa waktu lalu.
Saya pun ikut serta dalam aksi penjelajahan tersebut. Katakanlah seperti pemandu lokasi. Tim ini dipimpin oleh Alfian Ahmad bersama dua rekan lainnya yaitu mas Ilham dan Wahyu. Kami menuju ke beberapa tempat seperti kampung adat Ruteng Pu’u, Rumah Gendang Bangka Tuke, Rumah Gendang Mena, dan Rumah Gendang Carep. Semuanya ada di Kecamatan Langke Rembong, Manggarai NTT.
Sebagaimana biasa, pada setiap rumah Gendang kami diterima dengan ritus penyambutan tamu. Ada Tuak Curu dan Manuk Kapu. Ritus ini bermakna sebagai penanda keiklasan hati dari masyarakat setempat untuk menerima tamu. Dengan ritus ini diharapkan tamu tersebut dapat dijauhkan dari segala macam hambatan dan marabahaya yang mengganggu perjalananan mereka. Hal yang paling penting adalah sang tamu telah dibabtis menjadi bagian dari masyarakat setempat.
Tentu saja pada budaya orang Manggarai-Flores-NTT ini masih banyak lagi ritus-ritus lainnya. Dengan menjalankan ragam ritus tersebut, diyakini tradisi yang diwariskan dari generasi ke generasi berikutnya akan terus terjaga.
Ketua tim, Alfian Ahmad, menguraikan bahwa tugas dari Tim Advance ini adalah untuk melihat dari dekat kondisi masyarakat adat setempat terhadap aksesibilitas program pemerintah. Berbagai macam akses tersebut berupa pelayanan dasar seperti kesehatan, pendidikan maupun terhadap akses layanan lainnya.
“Kami ingin melihat kondisi kampung adat di Manggarai. Tugas kami di bidang kebudayaan salah satunya pemberdayaan masyarakat adat. Kami sebagai wakil dari pusat ingin memastikan bahwa masyarakat adat ini memiliki akses yang sama dengan masyarakat lainnya,” jelas Alfian.
![]() |
Foto; Ritus Penerimaan Adat di Rumah Gendang Mena |
Pemberdayaan Masyarakat Adat
Pemberdayaan masyarakat adat muncul sebagai upaya pemerintah dalam mengangkat masyarakat setempat untuk hidup lebih baik. Jadi, tidak ada diskriminasi. Mereka diberi kesempatan untuk hidup layak sebagaimana masyarakat umum lainnya.
Namun konsep pemberdayaan ini tentulah dimaksudkan agar pendekatan pembangunan dan pengembangan kepariwisataan berbasis komunitas terus berjalan. Konsep ini dipandang sebagai upaya pelibatan kepariwisataan yang menyentuh kehidupan masyarakat bawah. Tentu saja bukan sebagai obyek namun sebagai subyek atau pelaku pariwisata.
Menurut Alfian, “masyarakat adat bukan hanya bertugas agar tradisi tetap terjaga secara turun temurun. Namun lebih jauh, masyarakat adat juga berkontribusi terhadap kemajuan ekonomi masyarakat di sekitarnya”.
Untuk itu beberapa rumah gendang yang kita temui, para tua adat meminta agar pemerintah pusat dapat membantu menyediakan sarana dan prasarana yang memadai. Antara lain, agar rumah pendamping juga mesti berkonstruksi seperti rumah adat utama (Rumah Gendang). Rumah tersebut terbuat dari papan dan atap ijuk serta memiliki gazebo atau rumah istirahat untuk para tamu yang berkunjung.
Fasilitas pendukung ini juga diharapkan agar rumah adat dapat digunakan sebagai tempat dimana proses kreatifitas masyarakat lokal itu bisa terjadi. Anak-anak muda diajak untuk menenun. Sanggar-sanggar budaya dilatih di rumah gendang, bukan dilatih di sebuah tempat latihan umum. Anak-anak muda juga bisa dilatih untuk memainkan alat-alat tradisional, dan kegiatan lainnya.
Dengan demikian, program pemerintah daerah yang mengatur event budaya lokal menjadi sebuah kalender event bisa terlaksana. Sebagaimana diketahui Dinas Pariwisata Kabupaten Manggarai akan mengeluarkan sebuah kalender event pada tahun 2019 ini agar para wisatawan dapat menikmati ritus-ritus budaya di Manggarai dari suatu tempat ke tempat lainnya sesuai keinginan. Menurut saya, ini sebuah capaian yang luar biasa.
Dengan pemberdayaan ini setidaknya bisa mengubah pola dari hanya aksi kultural semata menjadi sebuah momentum mengangkat budaya lokal di atas pentas pariwisata dunia. Ritus budaya tidak hanya berakhir pada sebuah pengalaman puncak yakni pemurnian jiwa (katarsis) melainkan juga bisa mengembangkan masyarakat lokal (adat) secara ekonomi.
Mudah-mudahan!
Pemberdayaan masyarakat adat muncul sebagai upaya pemerintah dalam mengangkat masyarakat setempat untuk hidup lebih baik. Jadi, tidak ada diskriminasi. Mereka diberi kesempatan untuk hidup layak sebagaimana masyarakat umum lainnya.
Namun konsep pemberdayaan ini tentulah dimaksudkan agar pendekatan pembangunan dan pengembangan kepariwisataan berbasis komunitas terus berjalan. Konsep ini dipandang sebagai upaya pelibatan kepariwisataan yang menyentuh kehidupan masyarakat bawah. Tentu saja bukan sebagai obyek namun sebagai subyek atau pelaku pariwisata.
Menurut Alfian, “masyarakat adat bukan hanya bertugas agar tradisi tetap terjaga secara turun temurun. Namun lebih jauh, masyarakat adat juga berkontribusi terhadap kemajuan ekonomi masyarakat di sekitarnya”.
Untuk itu beberapa rumah gendang yang kita temui, para tua adat meminta agar pemerintah pusat dapat membantu menyediakan sarana dan prasarana yang memadai. Antara lain, agar rumah pendamping juga mesti berkonstruksi seperti rumah adat utama (Rumah Gendang). Rumah tersebut terbuat dari papan dan atap ijuk serta memiliki gazebo atau rumah istirahat untuk para tamu yang berkunjung.
Fasilitas pendukung ini juga diharapkan agar rumah adat dapat digunakan sebagai tempat dimana proses kreatifitas masyarakat lokal itu bisa terjadi. Anak-anak muda diajak untuk menenun. Sanggar-sanggar budaya dilatih di rumah gendang, bukan dilatih di sebuah tempat latihan umum. Anak-anak muda juga bisa dilatih untuk memainkan alat-alat tradisional, dan kegiatan lainnya.
Dengan demikian, program pemerintah daerah yang mengatur event budaya lokal menjadi sebuah kalender event bisa terlaksana. Sebagaimana diketahui Dinas Pariwisata Kabupaten Manggarai akan mengeluarkan sebuah kalender event pada tahun 2019 ini agar para wisatawan dapat menikmati ritus-ritus budaya di Manggarai dari suatu tempat ke tempat lainnya sesuai keinginan. Menurut saya, ini sebuah capaian yang luar biasa.
Dengan pemberdayaan ini setidaknya bisa mengubah pola dari hanya aksi kultural semata menjadi sebuah momentum mengangkat budaya lokal di atas pentas pariwisata dunia. Ritus budaya tidak hanya berakhir pada sebuah pengalaman puncak yakni pemurnian jiwa (katarsis) melainkan juga bisa mengembangkan masyarakat lokal (adat) secara ekonomi.
Mudah-mudahan!
![]() |
Rumah Gendang Bangka Tuke |
Komentar ini telah dihapus oleh administrator blog.
BalasHapus