![]() |
Foto Dok Pribadi |
Gerimis hujan mengiringi perjalanan kami menuju rumah Gendang Lada, Desa Manong Kecamatan Rahong Utara-Manggarai awal pekan kemarin. Tokoh adat dan masyarakat adat setempat menerima kami di pintu masuk kampung atau dalam bahasa setempat disebut Pa'ang.
Mereka berpakaian rapi; serba putih dibalut tenunan songke Manggarai. Beberapa di antaranya tampak sigap pada dua sisi sebatang kayu bundar panjang berukuran 8 meter.
Di bawah hujan yang semakin deras, mereka terus bersenandung menghantar sebatang kayu panjang itu menuju pelataran kampung tempat dibangunnya rumah adat atau mbaru gendang. Jaraknya sekitar delapan ratus meter dari pa'ang.
Tiba di pelataran kampung, rombongan itu diterima dengan tari-tarian
yang diiringi bunyian gendang dan gong. Mereka hanyut dalam irama sukacita itu karena seorang gadis cantik dari gunung dalam rupa sebatang pohon tiba di pelataran
kampung Lada.
Sebatang kayu ini nantinya akan digunakan sebagai tiang penyangga utama atau siri bongkok atau ngando mbaru gendang. Tiang penyangga yang disimbolkan sebagai seorang gadis cantik.
*****
![]() |
Foto; By Vian |
Itulah prosesi adat Manggarai yang disebut dengan Roko Molas Poco. Prosesi adat ini biasanya dilakukan saat memulai pembangunan rumah adat atau mbaru gendang.
Roko diartikan sebagai menghantar, mengambil atau meminang; molas artinya gadis cantik; sedangkan poco artinya gunung atau hutan.
Dalam pemahaman secara harafiah, prosesi adat ini diartikan sebagai ritual adat menghantar atau membawa pergi seorang gadis cantik dari gunung. Batang kayu ini diambil dari jenis kayu terbaik dari hutan dan biasanya orang Manggarai memilih kayu teno.
Saat menghadiri acara itu, saya menyaksikan betapa khusuknya mereka dalam kesatuan pada ritus penghormatan kepada leluhur. Ayam putih dipersembahkan dan disembeli di atas landasan siri bongkok. Hal dimana ingin menyatakan pengakuan akan keberadaan Sang Pencipta dalam kesatuannya dengan alam semesta dan leluhur.
Anda mungkin bertanya, mengapa gambaran sebatang pohon dari gunung itu serupa dengan seorang gadis cantik? Apalagi kalau sebatang kayu ini menempati posisi sebagai tiang penyangga di rumah besar yang bernama mbaru gendang.
Saya menduga kalau hal ini ada hubungan dengan tradisi orang Manggarai yang sangat menghormati peran perempuan dalam keluarga. Jadi perempuan menempati posisi yang strategis di tengah-tengah keluarga. Dia ditempatkan pada posisi yang sentral. Dia adalah tiang penyangga itu sendiri.
Sebagaimana perempuan, yang mengaliri cinta dan mewarisi generasi, tiang penyangga itu berperan sebagai pelindung yang mempertemukan balok-balok berbentuk bundar dalam arsitektur bangunan Mbaru gendang. Tiang penyangga itu akan mempertemukan dan menyatukan serta memperkokoh bangunan tersebut.
Ketika Roko Molas Poco dibaca sebagai salah satu prosesi adat penghormatan kepada identitas perempuan, tentu sepadan dengan perannya yang tak tergantikan yaitu mewarisi generasi melalui rahimnya. Perempuan yang berperan melindungi dengan cinta dan kelembutan agar kedamaian tetap terjaga.
Karena itu, harapannya rumah adat ini dapat melahirkan kebaikan bagi semua. Rumah adat ini sebagai simbol kesatuan di atas ragam perbedaan bukan sarana memperuncing perbedaan.
Kita tentu berharap agar rumah adat ini bukan hanya tempat berlangsungnya aktivitas ritual belaka melainkan juga sebagai lokus perjumpaan aksi kultural yang di dalamnya ada pesan peradaban. Bahwa perempuan mesti dihormati dan bukan dianggap sebagai mahluk kelas dua. Bahwa keberadaan kita bukanlah dianggap sebagai "terlempar di dalam dunia" melainkan karena kuasa sang pencipta.
Karena itu, Wakil Bupati Manggarai Heribertus Ngabut, SH yang hadir dalam kesempatan itu mengapresiasi atas terselenggaranya ritual ini. Menurutnya, Roko molas poco adalah kekayaan budaya Manggarai yang mesti diwariskan. Tidak hanya berhubungan dengan ritual pembangunan mbaru gendang belaka, tetapi juga ada nilai-nilai lain yang ditanamkan di sana.
Salam Nai Ca Anggit, Tuka Ca Leleng
![]() |
Foto By Vian |
Komentar
Posting Komentar