Dok. Pribadi |
Sebagian dari Anda mungkin sudah pernah mendengar istilah kewirausahaan sosial. Namun jujur saja, saya sendiri baru mendengar istilah itu.
Tidak dari
hasil membaca buku atau dari ragam informasi bisnis. Namun dari suatu
perjumpaan yang tak terduga dengan seorang kawan lama.
Kami bercerita sambil minum kopi sore di Kopi Mane – sebuah kedai kopi di
pusat Kota Ruteng akhir pekan kemarin. Bukan karena saya seorang penikmat kopi.
Tetapi, katanya, dia salah seorang yang “gila kopi”.
Ada banyak hal yang dibahas. Namun bukan tentang kopi Manggarai – sebagai
salah satu kopi terbaik di Indonesia yang mendapat sertifikat indikasi
geografis.
Melainkan, kami membahas hal-hal aktual, juga tentang kilas balik
cerita-cerita lama dari masa silam. Ketika masih bersama-sama merajut pengalaman
di “jalan sunyi” kehidupan membiara.
“Sudah begitu lama, tidak jumpa Vens! Sekitar 19 tahun lalu,” kata
Kristian Emanuel kepada saya saat itu.
Arena perjumpaan ini diisi dengan obrolan santai. Kristian bicara
perjalanannya membangun bisnis. Dengan segala konsekuensi dalam menghadapi
sulitnya menjadi wirausahawan.
Bahwa menjadi wirausahawan, katanya, mesti ada keyakinan diri dan sikap optimisme. Dua hal itu adalah modal utama merintis usaha.
Namun dalam prosesnya bukan tanpa masalah. Masalah tidak perlu dihindari tetapi mesti dikelola menjadi sebuah peluang baru.
“Mungkin ini yang disebut,
berwirausaha berbasis masalah”, lanjutnya.
Bagi orang yang bekerja di pemerintahan seperti saya, istilah itu begitu rumit. Masalah dalam kaca mata birokrasi adalah sesuatu yang harus dihindari.
Namun lain halnya dalam konsep kewirausahaan sosial. Munculnya suatu masalah
adalah sebuah kesempatan untuk berinovasi. Tentu saja yang dibutuhkan adalah
kesabaran, ditambah dengan sedikit kecerdasan serta kebulatan tekat.
Dia bercerita, tekadnya mengawali bisnis dimulai dari beternak ayam. Kurang lebih saat itu dirinya memelihara 100 ekor ayam pedaging.
Ayam tersebut
kemudian dijualnya di pasar atau warung makan. Aktivitas jualan inilah yang
dilihat dengan sebelah mata oleh keluarga dan kerabatnya.
Apa yang terjadi? Usaha ini ternyata terus berkembang.
Sebanyak 9.000 ekor ayam siap didistribusikan di beberapa restoran dan rumah makan di kota Maumere-Flores. Cibiran para kerabat pun perlahan hilang. Usaha dan kerja kerasnya berubah menjadi kiat-kiat sukses yang terus digali oleh calon usahawan muda.
Saat ini, usahanya melebar dengan dibangunnya Cafe dan Toko. Beberapa
karyawan dipekerjakan di sana. Dari usahanya ini rejeki itu terus mengalir yang
memberinya rasa syukur yang tiada henti.
Tak hanya itu, inovasi lainnya pun terus dilakukan.
Kegiatan
berhortikultura tidak bisa dianggap sepele. Lahan pekarangan rumah yang sempit
di Kota Maumere tidak menjadi halangan. Terbukti dirinya bisa memanen Cabai,
Fambox, Brokoli, Sayur Putih, Kangkung serta tanaman lainnya yang menggunakan
teknik hidroponik.
Impiannya Membangun Kewirausahaan Sosial
Kewirausahaan sosial ini menjadi impiannya pada masa depan. Dimana dia ingin menerapkan sebuah pendekatan yang praktis, inovatif, dan berkelanjutan serta memberi dampak positif bagi masyarakat, terutama masyarakat ekonomi kelas bawah dan terpinggirkan.
“Bukan bisnis yang menjadi prioritas, namun gagasan ini diharapkan memberi dampak sebesar-besarnya bagi masyarakat,” tambahnya.
Menurutnya, kesuksesan sebuah usaha tidak bisa dilakukan secara sendiri-sendiri. Dibutuhkan kebersamaan (komunio) dengan rantai bisnis yang saling menguntungkan.
Dukungan pemerintah juga penting, termasuk gereja. Yang paling penting mengubah mindset orang-orang muda.
“Kita ini sebenarnya kekurangan model. Orang-orang muda mau saja terjun dalam bidang hortikultura. Namun contoh kesuksesan dari menanam hortikultura tidak ada. Tidak ada contoh yang dekat”, katanya sambil menambahkan bahwa jaminan harga pasar menjadi sangat penting bagi sebuah ketertarikan kaum muda pada bidang ini.
Obrolan panjang ini tentu saja tak cukup mengusir hawa dingin di Kota Ruteng.
Semua orang pasti tahu, kota Ruteng menjadi kota paling dingin di Indonesia akhir-akhir ini. Menyeruput kopi pa’it saat senja menjadi sajian paling pas. Ditambah lagi dengan se-porsi pisang goreng hangat.
Anda tentu bisa membayangkan nikmatnya.
Di sela-sela kesibukan bisnisnya yang padat, ia tak lupa bersyukur. Bersyukur membuatnya selalu berkecukupan.
Bacaan dari Kitab Suci menjadi makanan jiwanya di pagi hari. Selanjutnya ia merenungkannya dalam konteks kehidupan sehari-hari. Ditulisnya serta dibagi-bagi kepada para sahabatnya melalui media sosial. Dia berharap dengan ini orang lain juga mendapatkan berkat yang sama .
Menurutnya, hidup adalah sebuah cerita. Cerita tentang harapan, capaian, kegagalan dan rasa syukur.
Terima kasih Kristian, sudah berbagi cerita
Komentar
Posting Komentar