Langsung ke konten utama

Mencerap Makna Tradisi Tutur Dari Kaum Keturunan Empo Paju di Compang Cibal

Foto : Ritual di Makam Empo Paju

 

Penelusuran tentang asal-usul suatu keturunan atau klan di Manggarai tidak banyak diperoleh melalui dokumen resmi atau catatan tertulis. Maka cerita-cerita dari masa lalu untuk merangkai bentangan sejarah suatu generasi masih disampaikan secara verbal. Karena itu budaya penuturan atau tombo nunduk terus diperdengarkan secara turun temurun dalam tradisi adat Manggarai

Oleh Valensius Onggot

Tradisi tutur ini kembali diperdengarkan oleh para tua-tua adat di gendang Compang Cibal pada Rabu (14/8) lalu. Mereka berkumpul untuk menelusuri kembali jejak asal muasal dari kehidupan masa lalu yang rumit bahkan menyimpan sejuta misteri. Malam itu menjadi malam yang berbeda dari sebelumnya. Dimana tabir sejarah masa lalu perlahan dibuka untuk disarikan maknanya kepada generasi selanjutnya. 

Dimulai dengan ditemukannya makam tua dari Empo Paju sebagai bukti sejarah dari masa silam. Bahwa masyarakat Cibal memiliki asal-usul garis  keturunan yang sama. 

Dari tombo nunduk inilah kemudian dapat disimpulkan bahwa orang-orang Manggarai dalam setiap tempat berasal dari suku dan keturunan yang berbeda. Hal ini juga secara tegas ditulis oleh Dami N. Toda dalam “Manggarai Mencari Pencerahan Historiografi hal 246, yang menyebutkan bahwa keturunan-keturunan yang ada di Manggarai berasal dari keturunan Sumba, Mandosawu, Pong Welak, emigran Sulawesi Selatan dan Bima, Keturunan Melayu Malaka, Melayu Minangkabau dan Tanah Dena.

Ritus Teing dan Nilai-nilai Komunal

Rumah gendang Compang Cibal yang berada pada sisi timur dari Compang Cibal malam itu dipadati oleh keturunan Empo Paju. Sebagai orang luar, kami diterima oleh Maksi Jewaru, salah satu tokoh adat di sana. Semua yang hadir pun akhirnya diterima dengan tuak ris dan manuk kapu. Sebuah tradisi penyambutan tamu menurut adat budaya orang Manggarai - yang sampai saat ini masih terpelihara dengan baik. 

Berjejer di dalam rumah gendang, para tua adat Compang Cibal, Panga dan  pang olo ngaung musi atau sanak keluarga sekampung. Hadir juga dari unsur pemerintah, baik pemerintah Desa setempat maupun dari 10 Desa lain disekitarnya. Unsur Kecamatan Cibal Barat dan Pemerintah Kabupaten Manggarai juga mengambil bagian dalam ritus tersebut.

Kondisi rumah adat ini masih mempertahan bentuk asli sebagaimana rumah adat Manggarai pada umumnya. Atap rumbia menjulang tinggi dan  berbentuk kerucut. Ruang rapat atau Lutur mengisi seluruh bagian dari rumah adat tersebut yang biasa digunakan sebagai tempat digelarnya pertemuan adat. Tanpa ada kamar atau usung, yang biasanya diperuntukkan bagi panga

Empat buah Gendang dan tiga buah Gong serta langkar tempat sesajian menggantung di atas siri bongkok, atau tianga penyangga utama. Duduk menyandar di bawahnya Maksi Jewaru serta tua adat lainnya dari garis keturunan Empo Paju.

Malam itu adalah sebuah malam bersejarah bagi kaum keturunan Empo Paju. Bagaimana tidak, ini pertama kalinya mereka berkumpul untuk merunut kembali kisah sejarah asal usul keturunan mereka. Acara pun berlanjut dengan ritus teing hang atau pemberian sesajian bagi para leluhur. Seekor ayam berwarna putih dipilih menjadi hewan korban. 

Ritus ini dimaksudkan sebagai ajang untuk memudahkan jalan bagi penelusuran sejarah asal usul keturunan Empo Paju. Dimana keesokan harinya akan dilaksanakan angjasana budaya menuju ke makam leluhur di Lingko Teno yang berjarak sekitar tiga kilometer dari perkampungan Compang Cibal. Dengan ritus ini mereka berharap tak ada aral rintangan saat melakukan perjalanan ke Lingko Teno. Mereka menyebutnya ritus karong salang; “Kudut neka caka le watang agu do’ong le ronggo”.

Foto : Acara Teing Hang

Budaya Tutur; repeng pede, mbate tae - pedeng reweng

Kisah tentang Empo Paju pun diperdengarkan. Sang penutur Agustinus Paju berkisah; Empo Paju ini datang dari Mandosawu melalui perjalanan yang panjang menuju kampung Rampasasa. Dari kampung Rampasasa dia melanjutkan perjalanannya menuju ke Beokina. Di Beokina akhirnya dia menetap, di sebuah Gua atau liang. 

Dari dalam gua dia melihat dua orang gadis. Dia pun mendekat dan bertanya tentang identitas kedua gadis tersebut. Kedua gadis tersebut pun menjawab bahwa mereka berasal dari Mangge dan Nunut. Sehingga disebut molas Mangge dan Molas Nunut.

Ngasang dami Pawe agu Tene”, jawab keduanya, saat ditanya oleh Empo Paju.

Kedua gadis itu pun diajak oleh Empo Paju ke dalam gua. Seekor babi hutan atau motang hasil buruannya telah ada sebelumnya. Dipotong-potongnya babi hutan tersebut dan langsung dibagi-bagikan kepada kedua gadis tersebut. Daging mentah itu pun langsung dimakan oleh Empo Paju. Tanpa dibakar ataupun dimasak. 

Melihat hal itu, mereka pun kaget. Kedua gadis itu pun mengatakan kepadanya bahwa mereka tidak bisa memakan daging babi hutan mentah itu tanpa dimasak atau dibakar terlebih dahulu.

Kedua gadis itu kemudian mencari guru tuak atau sejenis duri pohon tuak yang digesek untuk menghasilkan percikan api. Daging babi hutan itu akhirnya dibakar pada api. Pada saat itulah semua bulu yang menempel pada sekujur tubuh Empo Paju rontok. Empo Paju akhirnya tersadar bahwa kondisinya yang telanjang itu membuatnya malu di hadapan kedua gadis tersebut. Karena kondisinya yang  telanjang itu, kedua gadis itu pun memberinya selembar kain dan selanjutnya diajak ke rumah dari gadis itu.  

Empo Paju kemudian disembunyikan di sebuah kamar. Makanan dan minuman diantar oleh kedua gadis itu di persembunyiannya dalam porsi yang sama. Dua gelas dan dua piring. Melihat hal itu, orang tua dari gadis itu  akhirnya bertanya-tanya soal kelakuan mereka. Rasa penasaran dari orang tua itu pun terjawab ketika gadis-gadis itu mengakui perbuatannya.

Ami manga cumang ata. Hoo pisa minggun cee mbaru ga”, (Kami telah bertemu orang. Sudah beberapa minggu di rumah ini), jawab kedua gadis tersebut. 

Kemudian dipanggillah Empo Paju dari dalam kamar untuk ditanyai. 

Nia Maid ite ye?” Kau dari mana, tanya sang Ayah.

Aku le mai liang, lako daku awo mai Mandosawu,” (Saya berasal dari Mandosawu), jawab Empo Paju.

Eme nggitu aku kole toe manga lewang. Eme tu’ung nenggitu meu, hoo ngasang hi Pawo, hoo kole ngasan hi Tene,” kata orang tua itu kepada Empo Paju.

Singkat cerita, Empo Paju itu kemudian menjadikan kedua gadis itu sebagai istri-istrinya. (Cerita selanjutnya masih terus digali).

Foto: Penulis, Alwi, Tarsi, dan Ino

Membangkitkan Ingatan kolektif

Budaya tutur yang telah dilakukan dari generasi di Compang Cibal ini tentu untuk membangun sebuah kesadaran bersama. Tombo Nunduk ini menjadi jalan membangkitkan sebuah ingatan kolektif dari masa lampau yang dihidupkan kembali pada masa kini untuk selanjutnya dimaknai secara bersama. 

Ingatan kolektif ini akhirnya diharapkan akan menjadi cerminan bersama pada generasi selanjutnya dari Empo Paju yang terdiri dari empat panga. Menurut Agustinus Paju, keempat panga tersebut adalah Panga Wae di Ugal, Panga Mahang, Panga Ponjung Mangater dan Panga Salang Pangka

Pengisahan dalam tombo nunduk ini tentu saja sangat terbatas dan variatif. Karena itulah pengisahan ini setidaknya menjadi acuan bagi keturunan Empo Paju terutama untuk mempersatukan keturunan Cibal. Sebagaimana yang disampaikan oleh Camat Cibal Barat Karolus Mance saat itu, bahwa ingatan tentang sejarah ini perlu dibangun kembali. 

“Bahwa anjangsana Budaya ini untuk membangun kembali kewibawaan dari Empo Paju di Compang Cibal. Malam ini kita mau buat ini sebagai fundasi, Empo paju sebagai batu penjuru untuk mengembalikan roh orang Cibal. Empo paju ini adalah sosok pemersatu,” katanya.

Selain mengingatkan tentang Empo Paju, menurutnya semangat ini harus menjadi semangat bersama masyarakat Cibal untuk diteruskan dalam setiap generasi. Semangat itu tercermin dalam sikap maupun dalam cara bertutur kata. Harapannya agar Compang Cibal ini ditata kembali menjadi sebuah situs budaya untuk diwariskan kepada anak cucu. Karena itu kegiatan ini akan menjadi hajatan rutin yang akan dilksanakan setiap tahun.

Compang dan Jejak Makam Kejayaan Empo Paju

Dalam budaya Manggarai, umumnya, compang berada di tengah kampung. Ia merupakan satu kesatuan antara mbaru bate kaeng (rumah tempat tinggal), natas bate labar (halaman tempat bermain), uma bate duat (ladang tempat cari nafkah) dan wae bate teku (tempat timba air).

Begitupun di Compang Cibal. Konon katanya, Compang Cibal ini telah ada pada jaman Empo Paju sebagaimana yang disampaikan oleh Agustinus Paju malam itu.

Karena itu, selain Compang, makam Empo Paju menjadi bukti sejarah. Sebagaimana disaksikan, nisan makam tersebut dari sebuah batu yang lebih mirip sebagai susunan batu. Berbentuk candi dalam tiga  susun. 

Makam Empo Paju ini diapiti oleh makam-makam lainnya. Dari bentuk makam ini, Empo Paju dianggap sebagai tokoh sentral pada masa itu. Makam yang mengapitinya merupakan makam para pelayan atau keturunan setelahnya. Banyak bukti menunjukkan, orang-orang yang berpengaruh biasanya dimakamkan pada tempat yang strategis. 

Dari bentuknya, batu yang menyerupai nisan tiga susun itu juga menyerupai bentuk payung. Karena berbentuk payung maka nama Empo Paju ini mirip padanan kata dengan Payung atau dalam bahasa setempat disebut pajung. Empo Paju ini dimengerti sebagai figur yang memayungi, melindungi warga masyarakat Cibal sebagai satu kesatuan.  

Dalam kisah selanjutnya, Agustinus Paju menjelaskan bahwa Compang Cibal ini dahulu juga digunakan sebagai tempat peradilan. Di mana keputusan bersalah atau tidaknya seseorang yang melakukan kesalahan dilaksanakan di Compang Cibal. Terutama bagi mereka yang melakukan kesalahan atau jurak; atau bagi mereka yang “Hang Toe tanda, inung toe nipu”.

********

Tulisan ini hanyalah cerita yang sempat direkam oleh penulis dengan kemampuan yang sangat terbatas. Ada begitu banyak kekurangan di sana-sini yang mesti disempurnakan. Penulis hanya ingin mengabadikan kisah ini agar tidak luntur ditelan perubahan zaman. 

Salam, cama lewang ngger peang, cama po'e ngger one.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pesta Sambut Baru; Salah Satu Hadiah Terbaik Orang Tua?

Foto di Depan Gereja Katedral Ruteng Oleh : Valensius Onggot Wajahnya sumringah. Ketika begitu banyaknya orang yang datang memberikan ucapan selamat.  “Selamat ya nak!”  Dia pun menerima ucapan selamat itu dengan rasa bangga. Wajahnya tambah ceria. Bak Ratu sehari. Itulah yang dialami oleh anak saya, Cecilia beberapa minggu yang lalu (5/5/2019). Juga mungkin dialami oleh anak-anak lainnya. Apalagi saat ini lagi musimnya pesta sambut baru. Kemarin ditelpon oleh seorang teman, undang saya karena anaknya sambut baru Minggu esok.   “Makasih undangannya kawan!” kata saya. Bagi seorang anak yang beriman Katolik, penerimaan komuni pertama adalah sesuatu yang sangat dinantikan. Karena itu begitu banyak persiapan yang mesti dilakukan. Ada persiapan rohani, baik untuk si anak maupun bagi para orang tua. Namun yang merepotkan adalah persiapan jasmaniah. Pesta-pesta . Ada yang bercerita, kalau sebelumnya si anak turut sama ajakan orang tua. Tak ada pesta-pesta . Yang ada n...

Sejenak “Berkontemplasi” Menikmati Sawah Lingko Cara

Sebagian dari anda tentu sudah mengenal Lodok Lingko Cara yang terletak di Desa Meler, Kecamatan Ruteng, Manggarai. Namun bila anda yang belum ke sana, saya sarankan; carilah kesempatan sejenak untuk menikmati sejuta keindahan alam nan unik yang merupakan warisan masa lalu orang Manggarai itu. Untuk itulah saya bersama keluarga singgah sebentar di lokasi tujuan wisata tersebut. Dengan karcis masuk seharga super murah Sepuluh Ribu Rupiah, perjalanan menikmati keindahan Spider web rice field dari puncak Weol Kelurahan Wae Belang, pun dimulai. Hanya sekitar 400 meter dari jalan raya, kami dan para pengunjung lainnya sudah bisa sampai di puncak Weol. Sedikit bersusah payah, karena harus melewati 200-an anak tangga dengan sedikit treking curam. Untuk kesehatan, nah... ini bagus bagi mereka yang berat badan lagi naik. Di puncak Weol ini, hamparan sawah yang luas akan menjadi suguhan yang enak dipandang. Makanya, anak saya Gavin tiba-tiba mengucapkan kata “amazing” dari mulut...

Hendak Kuliah di Amerika, Ini Konsep Pendidikan Menurut Angela

Oleh : Valensius Onggot "Pendidikan itu adalah investasi," Angela Namanya Angela Merici G. Adem. Umurnya baru 21 Tahun. Ketika ia lulus dalam proses seleksi beasiswa S2 di luar Negeri tahun 2017 silam. Saat itu, baru enam bulan mengajar pada sebuah sekolah swasta di Kabupaten Manggarai. Tepatnya di SMAK St. Stefanus Ketang – Kabupaten Manggarai.  Di usia yang terbilang muda, 20 tahun, Angela sudah mendapatkan gelar sarjana S1 dari Universitas Negeri Malang dengan jurusan yang paling diminatinya; Matematika.  Alur cerita perjalanan hidupnya tentu seharusnya sudah berubah. Ia sudah menjadi guru Matematika dan merasakan nikmatnya menjadi staf pengajar, sesuai gelar kesarjanaannya itu.  Namun tidak bagi Angela. Peluang-peluang baru selalu terbuka. Pendidikan baginya adalah investasi jangka panjang. Tidak cukup hanya menjadi seorang guru, terutama guru di Indonesia Timur yang memiliki catatan buruk soal sarana dan prasarana pendidikan. “Saya mengambil kuliah...

Angela: Kukirimkan Pesan Cintaku Dari Universitas Columbia ke Tana Nuca Lale

Oleh : Valensius Onggot Angela: Foto di depan Columbia University Angela benar-benar sudah tiba di New York Amerika Serikat. Lebih tepatnya dia sudah mengunjungi kampus barunya, Columbia University. Setelah perjalanan panjang dan melelahkan dari Indonesia menuju Amerika. Lihatlah foto selfie Angela di atas, tepat di pelataran Universitas Columbia. Angela ini tentu bangga karena bisa kuliah di salah satu kampus terbaik di Amerika. Universitas yang terletak di Manhattan pusat Kota New York ini masuk dalam Ivy League atau 8 universitas terbaik di Amerika; bahkan di dunia. Saya coba mencari tahu di Mbah Google. Siapa sih orang Indonesia yang pernah belajar di sana? Ternyata tidak banyak. Antara lain ada artis cantik, Cinta Laura. Artis yang  menyanyikan lagu, “becek, ga ada ojek” itu. Selain Cinta Laura, tentunya ada banyak lulusan terkenal dan berprestasi yang mendapatkan penghargaan Nobel. Salah satunya Harold C. Urey di bidang Kimia. Dan masih banyak para lulusan lainn...

Terima SK PPPK, Youtuber Ini Berlinang Air Mata

Foto bersama Jefri Agung Oleh Valensius Onggot Kabar baik datang di Bulan Juni. Terutama bagi tenaga PPPK atau Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja yang lolos seleksi pada 2021 lalu. Mereka akhirnya resmi menjadi pegawai pemerintah melalui Surat Keputusan pengangkatan sebagai Aparatur Sipil Negara. Tak terkecuali di Kabupaten Manggarai. Pelaksanaan penyerahan SK untuk guru dalam proses seleksi tahab 1 dan 2 diselenggarakan pada Jumat 3 Juni 2022. Penyerahan SK Bupati Manggarai tersebut dilaksanakan secara terpusat di Aula MCC Ruteng oleh Wakil Bupati Manggarai Heribertus Ngabut, SH. Ada hal yang menarik saat penerimaan SK tersebut. Dari 604 orang guru, saya mendapati seorang guru yang juga sering berkecimpung dalam media sosial. Dia adalah seorang Youtuber. Meski baru setahun jagung dengan subscribe yang masih bisa dihitung dengan jari, proses kreatifnya tak kalah dengan yang berpengalaman. Dia adalah Jefri Agung. Nama chanel youtubenya sama dengan namanya sendiri #htt...

Jalan Panjang Menemukan Seorang Imam Diosesan Pertama Dari Paroki St. Wihelmus Ngkor

Foto: Undangan Tahbisan Diakon Menjadi seorang Imam Katolik berarti mengikrarkan setia selibat, ketaatan dan kesahajaan hidup yang berakar dalam doa. Kami bangga ketika saudara kami ini memilih hidupnya menjadi seorang imam Katolik. Ini berarti dia memberi diri bagi Tuhan dan sesama dengan sukacita dan semangat rela berkorban bagi sesama. By : omvalen Ada sesuatu yang berbeda dari Paroki St. Wihelmus Ngkor tahun ini. Seluruh umat Paroki ini  bergembira menyongsong akan ditahbiskannya seorang imam diosesan/Imam Projo untuk pertama kalinya. Dia adalah Frater Stefanus Jimmy Wintoyo Mala .  Pentahbisan Diakonatnya akan dilaksanakan pada tanggal 31 Juli 2020 nanti oleh YM Uskup Ruteng. Kalau tak ada aral rintangan, Frater Jimmy ini selanjutnya akan ditahbiskan menjadi imam pada bulan Oktober 2020 bersama 9 Diakon lainnya. Tentu saja ini adalah sebuah kebanggaan tersendiri. Kebanggaan itu tidak hanya diperuntukkan bagi pasangan Bapak Kosmas Mala dan Ibu Bernadeta Ti...

Menakar Konsistensi dan Inovasi Guru SMPN 4 Langke Rembong di Era Pandemi Covid 19

Foto bersama Kepsek SMPN 4 LR Oleh: Valensius Onggot Ketika   pandemi Covid 19 ini menghantam dunia pendidikan, SMP 4 Langke Rembong sesungguhnya telah siap dengan terobosan dan strategi agar keberlangsungan proses pembelajaran tetap terjaga. Terobosan dan strategi ini ditempuh melalui berbagai kegiatan pelatihan bagi para staf pengajarnya. Terutama penggunaan sarana teknologi informasi yang berbasis online . Saya pun berkesempatan menimbah ilmu dari Bapak Wenseslaus R. Yan pada Jumat (25/9) kemarin. Dia adalah seorang konseptor yang menahkodai SMPN 4 Langke Rembong. Kami bercerita tentang pendidikan yang berubah dalam sebuah paradigma baru akibat hantaman pandemi Covid 19. Hal-hal lain, juga tak luput dari pembincangan. Terutama situasi kekinian yang menjadi percakapan publik. Namun jujur saja; saya begitu takluk di hadapan semangat dan optimismenya membangun dunia pendidikan. Terbukti di bawah kepemimpinannya, Sekolah Menengah Pertama yang terletak di Lao, Kecamatan Langke Rembon...